Mohon tunggu...
Dominiques Kevin
Dominiques Kevin Mohon Tunggu... murid

tugas bindo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjelajah Dirgantara, Antara Sains dan Mimpi Manusia

6 Agustus 2025   23:01 Diperbarui: 26 Agustus 2025   13:19 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.merdeka.com/teknologi/begini-prosedur-nasa-jika-astronot-meninggal-saat-misi-luar-angkasa-445831-mvk.html


 

"Bayangkan sejenak: bumi hanyalah satu titik kecil di antara milyaran bintang. Namun dari titik kecil ini, manusia berani bermimpi untuk menjelajahi semesta. Itulah kisah tentang dirgantara."

Dirgantara. Sebuah kata yang sekilas terdengar kaku, ilmiah, dan penuh perhitungan. Namun di balik huruf-hurufnya, tersimpan imajinasi dan mimpi yang sejak lama tumbuh dalam hati manusia. Kata ini berasal dari dua unsur: dirga yang berarti luas, dan antara yang berarti ruang. Gabungan itu menghadirkan makna tentang sebuah ruang tanpa batas, tempat angan dan keberanian manusia diuji.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirgantara diartikan sebagai ruang di sekeliling bumi yang meliputi atmosfer dan antariksa. Tetapi bagi manusia, dirgantara tidak pernah hanya sebatas definisi. Ia adalah lambang perjalanan. Ia adalah panggilan jiwa untuk menatap ke atas langit malam, melihat jutaan bintang berkelip, dan bertanya dalam hati: “Bisakah aku sampai ke sana?” Pertanyaan sederhana yang melahirkan keberanian besar, keberanian untuk menembus batas bumi yang membesarkan kita.

Secara teknis, dirgantara memang identik dengan penerbangan dan antariksa. Di sanalah pesawat terbang melayang, satelit mengorbit, dan roket ditembakkan menuju planet-planet jauh. Namun sesungguhnya, yang membuat dirgantara begitu istimewa bukanlah sekadar mesin-mesin canggih itu, melainkan manusia yang mengendalikannya. Setiap peluncuran roket, setiap misi luar angkasa, sesungguhnya adalah cermin dari kerinduan manusia untuk memahami semesta dan dirinya sendiri.

Sejarah mencatat, bangsa-bangsa besar berlomba menguasai dirgantara. Amerika Serikat dengan NASA-nya, Rusia dengan Roscosmos, Tiongkok yang semakin ambisius, hingga India yang kini menunjukkan taringnya. Satelit, stasiun luar angkasa, hingga misi ke Mars—semua menjadi bukti bahwa langit tidak lagi sekadar pemandangan indah, tetapi medan pertaruhan masa depan. Bahkan Indonesia, dengan segala keterbatasannya, telah melangkah melalui penelitian satelit lokal, riset antariksa, hingga pendidikan kedirgantaraan untuk generasi muda. Setiap langkah kecil itu adalah bagian dari mimpi besar bangsa.

https://www.merdeka.com/teknologi/begini-prosedur-nasa-jika-astronot-meninggal-saat-misi-luar-angkasa-445831-mvk.html
https://www.merdeka.com/teknologi/begini-prosedur-nasa-jika-astronot-meninggal-saat-misi-luar-angkasa-445831-mvk.html

Namun mari jujur: mengapa manusia begitu ingin menembus langit? Bukankah bumi sudah cukup luas untuk dihuni? Bukankah laut dan daratan saja belum selesai kita pahami? Jawabannya, barangkali, ada dalam jiwa kita sendiri. Manusia diciptakan dengan rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Kita selalu ingin melihat lebih jauh, mendengar lebih jelas, dan memahami lebih dalam. Langit dan bintang hanyalah panggung tempat rasa ingin tahu itu berlabuh.

Tentu, perjalanan di dirgantara tidak tanpa risiko. Kita mendengar tentang kegagalan peluncuran roket, kecelakaan pesawat, bahkan kemungkinan tragis jika seorang astronot kehilangan nyawa di luar angkasa. NASA bahkan telah menyiapkan prosedur khusus jika hal itu terjadi. Semua risiko ini mengingatkan kita bahwa langit bukanlah tempat yang ramah. Ia indah, tetapi juga keras. Ia menantang, tetapi juga berbahaya. Namun justru karena itulah manusia tidak pernah berhenti mencoba—karena setiap tantangan adalah undangan untuk berani.

Namun justru karena itulah manusia tidak pernah berhenti mencoba—karena setiap tantangan adalah undangan untuk berani.

Dan pada akhirnya, dirgantara bukanlah sekadar tentang teknologi, roket, atau satelit. Ia adalah cermin harapan. Harapan untuk mengetahui bahwa kita tidak sendirian di alam semesta. Harapan untuk menemukan cara menjaga bumi, rumah kecil kita yang rapuh. Harapan untuk menyadari betapa kecilnya kita di hadapan galaksi luas yang tak bertepi, sekaligus betapa besar potensi kita untuk bermimpi dan mewujudkannya.

Dirgantara mengajarkan bahwa manusia bukan hanya makhluk bumi, tetapi juga makhluk mimpi. Kita mungkin tidak semua bisa terbang dengan roket, tetapi kita semua bisa merasakan denyut harapan yang sama setiap kali menatap bintang. Di sanalah letak keindahannya: sains dan mimpi berpadu, melahirkan keberanian untuk menatap masa depan dengan mata berbinar.

Karena pada akhirnya, menjelajah dirgantara bukan hanya soal menaklukkan langit. Ia adalah perjalanan menemukan siapa kita, dan bagaimana kita bisa menjaga kehidupan di bumi dengan lebih bijaksana.

Rindu yang Menggantung di Langit

Engkau hadir seperti cahaya samar yang muncul perlahan di ufuk timur. Bagai cahaya yang tak memaksa dan menetap dalam pandang. Sejak kehadiranmu, langit tak lagi terasa hampa. Ada semacam getaran yang mengisi tiap ruang sunyi, seakan semesta sedang berbisik lewat angin pagi. Entah sejak kapan, aku mulai memandang dirgantara bukan sebagai ruang kosong yang luas, melainkan tempat segala kemungkinan berawal, seperti perjumpaan kita yang singkat namun sarat makna.

Kita tak banyak bicara, tapi setiap pertemuan terasa seperti gemuruh peluncuran roket ke langit: cepat, mengejutkan, dan meninggalkan jejak di dada. Di balik doa-doa yang terlantun, aku belajar bahwa dirgantara tak harus selalu dijelajahi dengan teknologi. Kadang, dirgantara cukup dijelajahi dengan hati yang jujur dan tatap mata yang tak bisa berdusta. Engkau bukan sekadar pengisi waktu, tetapi arah yang diam-diam kutuju dalam lintasan yang sering kali kusangkal. Dan meski tak selalu sejalan, aku tahu ada benang tak kasatmata yang membuatmu tetap dekat dalam jarak yang jauh.

Engkau bukan sekadar pengisi waktu, tetapi arah yang diam-diam kutuju dalam lintasan yang sering kali kusangkal.


Kini aku berdiri di bawah langit malam, tak lagi menunggu bintang jatuh. Aku tahu, bahkan tanpa kilauan, langit tetap menyimpan makna. Seperti halnya kau yang tetap dekat di hati meski tak lagi hadir. Dirgantara akan terus menjadi tempat aku menitipkan rinduku, bukan karena aku tak mampu melupakan, tetapi karena aku ingin mengingat dengan cara yang paling sederhana yakni menatap ke atas, dan diam-diam berdoa agar suatu saat, semesta mengizinkan jejak kita bertemu kembali.

https://www.liputan6.com/citizen6/read/5356277/3-manfaat-kesehatan-memandang-bintang-di-malam-hari-buktikan-sendiri
https://www.liputan6.com/citizen6/read/5356277/3-manfaat-kesehatan-memandang-bintang-di-malam-hari-buktikan-sendiri

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun