Dalam beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh serangkaian kasus keracunan massal yang terjadi di sejumlah wilayah akibat konsumsi makanan dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah.Â
Ironisnya, sebagian besar kasus keracunan ini bersumber dari pangan asal hewan seperti daging ayam dan telur, yang seharusnya menjadi sumber protein utama dalam program ini.
Kejadian ini memunculkan pertanyaan krusial, sejauh mana peran dan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) dijalankan dalam rantai penyediaan pangan MBG?
Pentingnya Peran Kesehatan Masyarakat Veteriner
Kesehatan masyarakat veteriner merupakan salah satu pilar penting dalam sistem kesehatan masyarakat secara umum, terutama dalam menjamin keamanan pangan asal hewan.Â
Menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH/OIE), kesmavet berfungsi untuk melindungi masyarakat dari risiko zoonosis dan kontaminasi pangan, dengan fokus pada pengawasan, inspeksi, dan sertifikasi produk hewan dari hulu ke hilir.
Dalam konteks MBG, di mana makanan diberikan secara massal kepada anak-anak sekolah, kelompok yang sangat rentan terhadap penyakit bawaan makanan, pengawasan oleh tenaga kesmavet menjadi mutlak.Â
Mulai dari pemilihan bahan baku, proses penyimpanan, pengolahan hingga distribusi makanan harus memenuhi standar keamanan pangan yang ketat.
Tanpa pengawasan kesmavet yang memadai, sangat mungkin terjadi kontaminasi bakteri patogen seperti Salmonella, E. coli, atau Listeria monocytogenes, yang merupakan penyebab utama keracunan makanan.Â
Data dari Kementerian Kesehatan (2022) menyebutkan bahwa 51% dari total kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di Indonesia disebabkan oleh pangan asal hewan yang tidak memenuhi syarat.
Ketimpangan Kelembagaan di Daerah
Namun, di sinilah letak persoalan mendasar yang selama ini luput dari perhatian. Kegiatan pengawasan kesmavet di daerah berada di bawah organisasi perangkat daerah (OPD) yang membidangi urusan peternakan dan kesehatan hewan.Â