Mohon tunggu...
Iwan Berri Prima
Iwan Berri Prima Mohon Tunggu... Pejabat Otoritas Veteriner

Dokter Hewan | Pegiat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Urusan Kesehatan Masyarakat Veteriner Sebaiknya di Bawah Badan Pangan Nasional

24 September 2025   23:07 Diperbarui: 24 September 2025   23:07 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pangan asal Hewan (Sumber gambar: Thinkstockphotos)

Pembentukan Badan Pangan Nasional (Bapanas) melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 adalah langkah besar dalam membenahi tata kelola pangan Indonesia. 

Lembaga ini diberi mandat untuk mengoordinasikan, merumuskan, dan memastikan ketersediaan serta keamanan pangan. Bahkan, di tingkat pemerintah daerah, urusan pangan yang menjadi kewenangan Bapanas ditetapkan sebagai urusan wajib. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Salah satu fungsi penting Bapanas adalah pengawasan pangan, termasuk pangan asal hewan. Tetapi di sinilah muncul persoalan: Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) yang berada di bawah Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, masih memegang peran pengawasan keamanan pangan asal hewan. Dengan kata lain, ada dua institusi dengan fungsi serupa.

Akibatnya, Bapanas seperti "jalan di tempat". Punya kewenangan besar, tetapi ragu melangkah jauh karena Kesmavet masih berada di Kementan. 

Sementara itu, Kesmavet di level pemerintah daerah hanya dianggap urusan pilihan. Maka jadilah pemda bingung: harus patuh pada Bapanas yang punya dasar hukum kuat, atau tetap menunggu arahan Kementan yang masih memegang fungsi teknis?

Mengapa Kesmavet Krusial?

Pangan asal hewan bukan sekadar soal daging ayam, daging sapi, atau telur. Di dalamnya ada risiko serius yang menyangkut kesehatan dan keselamatan manusia. 

Data Kementerian Kesehatan 2023 menunjukkan, lebih dari 40% kasus keracunan makanan di Indonesia bersumber dari pangan asal hewan.

Kita bisa lihat dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sedang digalakkan pemerintah. Niatnya mulia, memastikan anak sekolah dan masyarakat kurang mampu mendapat akses protein hewani. Namun di lapangan, kasus keracunan justru banyak terjadi karena pangan asal hewan, misalnya telur rebus yang tidak segar, atau daging ayam yang tidak diolah dengan standar kebersihan baik.

Contohnya, beberapa saat yang lalu, ratusan siswa sekolah dilaporkan muntah-muntah setelah mengonsumsi makanan dalam program MBG di Bogor, Jawa Barat. Hasil uji laboratorium, ditemukan kontaminasi bakteri Salmonella dan E. coli pada sampel yang diperiksa, diantaranya pada bahan pangan telur ayam dan air. Peristiwa ini menegaskan, tanpa pengawasan ketat, niat baik bisa berbalik menjadi malapetaka.

Sementara pangan segar asal tumbuhan (PSAT) memang berisiko akibat residu pestisida, tetapi dampaknya jarang bersifat akut. Orang Sunda, misalnya, terbiasa makan lalapan segar setiap hari. Bahayanya ada, tetapi tidak menimbulkan keracunan massal secara cepat. 

Bandingkan dengan kasus keracunan ikan tongkol di Lampung tahun 2023, yang menyebabkan dua orang meninggal dan belasan lainnya dirawat hanya dalam hitungan jam setelah mengonsumsi ikan yang sudah tercemar toksin.

Dengan kata lain, pangan asal hewan adalah titik rawan dalam rantai pangan.Dan di sinilah peran Kesmavet jadi kunci.

Kegamangan di Daerah

Karena Bapanas diakui sebagai urusan wajib, seharusnya pemda memberi prioritas penuh. Tetapi faktanya, pengawasan teknis pangan asal hewan masih melekat pada Kesmavet yang statusnya urusan pilihan. Akibatnya, daerah sering kali tidak menyiapkan anggaran maupun tenaga pengawas khusus.

Contoh sederhana: beberapa dinas pangan di daerah sudah mulai mengawasi PSAT sesuai arahan Bapanas. Tapi ketika muncul kasus daging ayam berformalin di Bandung (2022) yang diungkap BPOM, pemda setempat tidak berani bertindak cepat. Mereka menunggu arahan Kementan, sementara masyarakat sudah keburu resah.

Kondisi ini jelas tidak sehat. Dalam urusan keamanan pangan, keragu-raguan bisa berakibat fatal.

Belajar dari Data

Mari kita lihat fakta di lapangan. Menurut data BPOM tahun 2022, produk pangan asal hewan masih menempati posisi tiga besar sebagai penyumbang temuan bahan berbahaya dalam pengawasan rutin. 

Misalnya, daging ayam dengan formalin, bakso mengandung boraks, atau ikan asin dengan kadar bahan kimia berbahaya.

Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2024, mencatat konsumsi ikan masyarakat Indonesia mencapai 59,53 kg/kapita/tahun. Angka ini cukup tinggi dan menunjukkan bahwa pengawasan pangan asal ikan seharusnya mendapat perhatian serius. 

Saat ini, pengawasan ikan masih berada di KKP. Tetapi jika logika keamanan pangan dipakai secara konsisten, maka ikan sejatinya juga masuk dalam ranah pengawasan Bapanas, karena termasuk pangan asal hewan.

Saatnya Menyatukan Fungsi


Kalau kita mau jujur, apa sulitnya menggabungkan fungsi Kesmavet ke dalam Bapanas? Tidak sama sekali. 

Dalam sejarah birokrasi kita, penggabungan instansi adalah hal lumrah. Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan pun sudah dilebur ke Bapanas. Begitu pula unit-unit lain yang digabungkan sesuai kebutuhan zaman.

Dengan memindahkan Kesmavet ke Bapanas, maka rantai pengawasan pangan akan lebih sederhana: produksi tetap di Kementan, pengawasan keamanan pangan di Bapanas. 

Hasilnya, pemda tidak bingung lagi, dan rakyat mendapat jaminan pangan yang lebih aman.

Bukan berarti peran Kementan mengecil. Justru sebaliknya, Kementan bisa lebih fokus meningkatkan produktivitas peternak, memperkuat teknologi, serta menjamin ketersediaan protein hewani. Sementara Bapanas mengawal mutu dan keamanan di meja makan rakyat.

Menepis Ego Sektoral

Kendala terbesar memang ada di soal ego sektoral. Ada kekhawatiran kalau fungsi Kesmavet dilepas, Kementan kehilangan "lahan garapan." 

Padahal, di era sekarang, kita butuh keberanian untuk keluar dari pola pikir sektoral. Urusan pangan bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi siapa yang bisa menjamin rakyat aman dan sehat.

Setiap kasus keracunan pangan tidak hanya soal kesehatan, tetapi juga soal kepercayaan publik terhadap negara. Ketika pemerintah gagal menjamin keamanan pangan, rakyat akan skeptis pada semua program, termasuk MBG yang sejatinya bagus.

Akhirnya, seperti pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Keracunan pangan asal hewan bisa dicegah jika pengawasan dilakukan secara konsisten dan terkoordinasi. Dan koordinasi itu hanya mungkin tercapai jika ada satu lembaga yang memegang kendali penuh, yakni Bapanas.

Sudah saatnya kita beranjak dari keraguan. Urusan Kesehatan Masyarakat Veteriner sebaiknya berada di bawah Badan Pangan Nasional. Dengan begitu, pemda tidak lagi gamang, Bapanas tidak lagi setengah hati, dan masyarakat mendapat jaminan bahwa setiap pangan asal hewan yang mereka konsumsi aman.

Karena pada akhirnya, pangan yang aman adalah hak rakyat, bukan sekadar urusan birokrasi antarinstansi. Semoga bermanfaat!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun