Setiap kali kita membaca berita tentang penganiayaan hewan, hati nurani seakan terusik. Seekor kucing dibakar hidup-hidup, anjing dipukul hingga mati, atau satwa liar diperdagangkan secara brutal di pasar-pasar gelap.Â
Ironisnya, ketika kasus-kasus itu masuk ranah hukum, vonis yang dijatuhkan sering kali sangat ringan, bahkan tidak jarang pelakunya lolos dari jerat hukum. Mengapa demikian? Salah satu sebabnya adalah karena perangkat hukum kita belum benar-benar berpihak pada hewan.
Indonesia memang memiliki aturan terkait perlindungan satwa, tetapi sifatnya parsial, terbatas, dan tidak tegas. Penganiayaan terhadap hewan kerap dipandang bukan sebagai pelanggaran serius, melainkan sekadar kasus sepele yang tidak perlu dibawa jauh ke ranah hukum.Â
Padahal, cara kita memperlakukan hewan adalah cermin dari peradaban dan kemanusiaan bangsa. Karena itu, urgensi menghadirkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Hewan menjadi semakin nyata dan mendesak.
Saat ini, perlindungan hukum terhadap hewan masih bertumpu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan beberapa aturan sektoral.
Misalnya, Pasal 302 KUHP memang mengatur tentang larangan menyiksa hewan, namun ancaman hukumannya sangat ringan: kurungan paling lama tiga bulan atau denda yang jumlahnya tidak seberapa.Â
Hukuman yang tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami hewan ini jelas tidak menimbulkan efek jera.
Akibatnya, banyak orang memandang remeh tindakan kekerasan terhadap hewan. Tidak jarang, kasus-kasus yang viral di media sosial lebih mendapat perhatian publik daripada di ruang pengadilan.Â
Padahal, seharusnya hukum hadir bukan hanya ketika publik bersuara, melainkan sebagai jaminan perlindungan yang nyata bagi makhluk hidup lain yang hidup berdampingan dengan manusia.
Keberpihakan pada Sektor Kesehatan Hewan Masih Lemah
RUU Perlindungan Hewan tidak semata berbicara soal larangan menyiksa hewan, tetapi juga menyangkut kesehatan hewan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat (One Health).Â
Sayangnya, tampaknya negara ini masih gamang menunjukkan keberpihakannya. Terbukti, banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki dokter hewan berwenang.
Padahal, dokter hewan bukan sekadar "dokter untuk ternak." Mereka berperan penting dalam mencegah penyakit zoonosis, penyakit yang menular dari hewan ke manusia, seperti rabies, avian influenza, hingga antraks. Tanpa tenaga kesehatan hewan yang memadai, Indonesia rentan menghadapi ancaman wabah.
Ketiadaan perhatian serius dari pemerintah daerah juga memperburuk situasi. Hal ini terjadi karena urusan kesehatan hewan bukan termasuk urusan wajib dalam tata kelola pemerintahan daerah.Â
Artinya, daerah tidak punya kewajiban mutlak untuk mengalokasikan anggaran khusus bagi kesehatan hewan. Akibatnya, pengendalian rabies misalnya, hanya berjalan baik di daerah yang kepala daerahnya punya kepedulian tinggi.Â
Sementara di tempat lain, program vaksinasi dan eliminasi rabies dilakukan setengah hati, bergantung pada ketersediaan dana dan niat politik lokal.
Rabies: Ancaman Nyata yang Terabaikan
Momentum peringatan Hari Rabies Sedunia (World Rabies Day) yang jatuh pada 28 September 2025 seharusnya menjadi pengingat keras bahwa rabies masih menjadi masalah serius di Indonesia.Â
Menurut data Badan Kesehatan Hewan Dunia (WOAH), setiap tahun ribuan orang di dunia meninggal akibat rabies, dan 99% penularannya berasal dari gigitan anjing.
Indonesia sendiri belum terbebas dari rabies. Beberapa provinsi masih menjadi daerah endemis, sementara daerah-daerah lain masih berjuang mencegah rabies masuk ke wilayahnya.Â
Namun, dengan kondisi anggaran yang minim dan jumlah dokter hewan yang terbatas, sulit mengharapkan pengendalian rabies bisa berjalan optimal.
Di sinilah relevansi RUU Perlindungan Hewan kembali muncul. Undang-undang ini dapat menjadi payung hukum yang lebih kuat, bukan hanya untuk melindungi hewan dari penganiayaan, tetapi juga untuk memastikan adanya sistem kesehatan hewan yang terpadu, merata, dan wajib dijalankan di seluruh daerah.
Dari Individu, Komunitas, hingga Negara
Mencegah rabies dan melindungi hewan bukan hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab kita semua. WOAH dalam kampanye globalnya mendorong aksi di tiga level:
1. You -- tindakan personal: setiap individu dapat mengambil langkah nyata, misalnya dengan memastikan anjing atau kucing peliharaannya mendapatkan vaksinasi rabies. Selain itu, penting untuk memahami cara mencegah penularan, termasuk pengetahuan tentang vaksin pra dan pasca pajanan (Pre- and Post-Exposure Prophylaxis).
2. Me -- menjadi teladan: setiap orang bisa menginspirasi orang lain dengan cara mendukung program eliminasi rabies, melatih para relawan, atau bahkan mengedukasi masyarakat sekitarnya. Dengan menjadi contoh, kita dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap pentingnya kesehatan hewan.
3. Community -- kerja bersama: komunitas dapat berperan besar, mulai dari menyelenggarakan kampanye vaksinasi massal, mengedukasi anak-anak sekolah tentang rabies, hingga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki program eliminasi rabies yang lebih kuat.
Namun, semua langkah itu akan lebih mudah jika ada dukungan hukum yang kokoh. RUU Perlindungan Hewan dapat menjadi pijakan utama yang memastikan keberlanjutan program-program tersebut.
Mengapa RUU Ini Mendesak?
Menurut penulis, RUU Perlindungan Hewan adalah jawaban atas beberapa persoalan mendasar yang kita hadapi, yakni:
Pertama, Memberikan sanksi tegas, kepada pelaku penganiayaan hewan, sehingga ada efek jera dan perlindungan nyata bagi satwa.
Kedua, Menjamin keberadaan dokter hewan, di setiap daerah dengan status jelas sebagai bagian dari pelayanan publik.
Ketiga, mewajibkan daerah mengalokasikan anggaran kesehatan hewan, termasuk untuk pengendalian rabies dan penyakit zoonosis lainnya.
Keempat, Mengangkat isu kesejahteraan hewan, sebagai bagian dari peradaban bangsa, bukan sekadar urusan pinggiran.
Oleh sebab itu, ketika kita memperjuangkan lahirnya RUU Perlindungan Hewan, sejatinya kita juga sedang memperjuangkan keselamatan manusia.Â
Rabies, flu burung, hingga antraks adalah ancaman nyata yang bisa dikendalikan jika kesehatan hewan diperhatikan dengan serius.
Lebih dari itu, hewan juga berhak hidup tanpa kekerasan. Mereka bukan sekadar makhluk hidup yang dipelihara atau dimanfaatkan, tetapi bagian dari ekosistem yang menjaga keseimbangan kehidupan.
Maka, sudah saatnya negara hadir lebih kuat melalui RUU Perlindungan Hewan. Dengan demikian, kita tidak hanya menekan angka rabies dan zoonosis lainnya, tetapi juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang beradab, peduli, dan bertanggung jawab terhadap semua makhluk hidup. Semoga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI