Mohon tunggu...
Dody Kasman
Dody Kasman Mohon Tunggu... Administrasi - Manusia Biasa

Wong Ndeso yang bukan siapa-siapa. Twitter : @Dody_Kasman

Selanjutnya

Tutup

Film

Demam "Dilan 1991" dan Nostalgia Masa SMA

4 Maret 2019   14:44 Diperbarui: 4 Maret 2019   15:20 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan Layar YouTube MAX Pictures

Pagi itu Nia, putri saya, kembali mengingatkan "Yah, nanti siang nonton Dilan ya?." Saya pun mengiyakan saja. "Dilan 1991" rupanya masuk dalam daftar film yang wajib ditontonnya. Bahkan beberapa hari sebelum tayang, "Dilan 1991" seperti jadi trending topic pembicaraannya. Mungkin remaja yang lain juga demikian, jauh hari sudah menjadwalkan sedikit waktu mereka untuk menonton film tersebut.

Tak hanya muda-mudi, bahkan saya yakin orang tuapun banyak yang berencana menonton "Dilan 1991," selain penasaran dengan kelanjutan dari kisah sebelumnya di "Dilan 1990," juga untuk sekedar kembali bernostalgia masa-masa SMA. Termasuk saya yang awalnya terpanggil menonton hanya untuk mendampingi putri tercinta, bersama istri saya tentunya.

Dan demam "Dilan 1991" terbukti tak hanya menyerang kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, tapi juga mewabah hingga ke daerah, ke kota-kota kecil seperti Probolinggo, daerah saya. Bersyukur sejak akhir tahun lalu, setelah hampir 15 tahun "sepi", Probolinggo kembali memiliki gedung bioskop yang representatif. Bukan Cineplex 21 atau XXI, tapi tak kalah berkelas yaitu CGV Cinema.

Sejak beroperasi sekitar tiga bulan terakhir mungkin baru kali ini CGV Wijaya Kusuma, demikian namanya, begitu ramai penonton. Itu yang saya saksikan sendiri sejak hari pertama "Dilan 1991" diputar. Kendaraan yang berjajar tempat parkir, baik itu mobil maupun motor, nampak jauh lebih banyak dari biasanya. "Panen gara-gara Dilan mas," ujar penjaga parkir menjawab celetukan saya melihatnya banyaknya mobil dan motor yang diparkir saat itu.

Mungkin seperti di kota/daerah lain, pemutaran Dilan 1991 di Probolinggo terbilang istimewa, betapa tidak, dari empat studio yang ada semuanya memutar film arahan Fajar Bustomi itu dengan sedikitnya 18 kali tayang dalam sehari. Selama tiga hari CGV Wijaya Kusuma khusus hanya memutar Dilan 1991 tanpa ada pilihan film lainnya. ini sempat jadi bahan candaan saya saat mbak di loket bertanya, "Mau nonton film apa Kak?." Saya jawab spontan sambil tersenyum, "mau nonton yang mana lagi? Kan cuma Dilan yang diputar?."

Siang itupun kami berempat; Saya, Nia, Mamanya Nia dan Fina sahabat Nia berkesempatan nonton film terbaru Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla itu. Dan dua jam durasi film tak terasa cepat berlalu. Hingga film credit muncul di layar, saat sudah banyak penonton yang beranjak dari tempat duduknya, kami tetap bertahan. "Jangan keluar dulu sebelum lampu menyala," saya berucap. Selain agar lebih aman dan nyaman keluar studio saat lampu terang, biasanya ada kejutan setelah closing credit. Benar saja, ada beberapa detik adegan bocoran, kemungkinan besar untuk sekuel berikutnya.

Sekeluarnya dari studio, nampak raut muka ceria dan lega di wajah Nia dan Fina. Padahal mereka berdua mengaku sempat menangis terbawa perasaan kesedihan Milea. Walau tak happy ending, Nia dan Fina mengaku senang dan puas bisa menyaksikan film yang sedang booming itu.  Saya dan istri pun ikut bahagia melihat kegembiraan mereka.  

Lega dan bersyukur juga karena ternyata tak ada adegan "aneh-aneh" yang ditunjukkan secara vulgar. Adegan romantis (ciuman) ditampilkan dengan kiasan gerakan jari tangan yang justru menurut saya lucu. Pun ketika Dilan berduaan dengan Milea dan bertanya "Mau langsung atau diwakilin?" yang kemudian dijawab Milea : "Langsung." Ternyata adegan ciumannya tak dinampakkan. Scene beralih ke suasana di luar rumah Milea, dengan narasi Milea menggambarkan bagaimana suasana hatinya saat itu. Dan tangan saya yang sudah siap menutup mata Nia, beralih meraih kantong popcorn yang semula dipegangnya.

Bagi saya pribadi, menonton "Dilan 1991" adalah nostalgia yang membawa saya kembali ke masa-masa saat masih berseragam putih abu-abu. Apa yang tergambar di Dilan 1991 sebagian besar mewakili apa yang saya alami dan rasakan kala itu. Masa di saat belum ada HP dan internet seperti sekarang, saat telepon umum dan wartel mendominasi sarana telekomunikasi. Masa ketika janjian harus benar-benar tepat waktu, di tempat yang pasti. Satu adegan ketika ayah Milea menyusun rapi koleksi perangkonya menggugah ingatan saya pada hobby yang dulu juga sempat saya tekuni. Mengumpulkan perangko dari berbagai masa, perangko lokal hingga mancanegara.

Masa saat surat menyurat menjadi pilihan utama untuk berkabar dengan sahabat ataupun orang tercinta nun jauh di sana. Saat biodata lengkap dengan kesan dan pesan diungkapkan dengan bertukar coretan di buku diary, catatan, agenda ataupun namanya. Ketika bangku sekolah penuh dengan corat coret pensil, ballpoint, spidol bahkan ukiran silet untuk sekedar iseng hingga media ekspresi diri. Masa di saat corat-coret baju sekolah dengan cat Pylox adalah hal lumrah sebagai ungkapan kegembiraan karena lulus sekolah. Semua itu nyaris sudah tak bisa ditemui di masa kini, masa generasi milenial.

Meskipun kisah remaja 90an sudah tergambar dengan jelas di Dilan 1990, baru di Dilan 1991 ini saya hanyut dalam nostalgia masa SMA. Mungkin karena kali ini saya menyaksikannya dalam format layar lebar di bioskop modern dengan tampilan gambar dan audio berkualitas yang membuat saya lebih berkonsentrasi mengikuti alur cerita. Sementara sebelumnya, saya menonton Dilan 1990 dalam format DVD yang saya dapatkan di gerai ayam goreng cepat saji setahun yang lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun