Mohon tunggu...
Dodo Hinganaday
Dodo Hinganaday Mohon Tunggu... Guru - Jesuit Indonesia

Pertama: terima kasih banyak untuk yang sudah meluangkan waktu berkunjung dan membaca tulisan ini. Saya anak Dayak kelahiran Jakarta, belajar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta (2010-2014), lalu lanjut menimba ilmu Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2016-2019). Pernah juga menginjakkan kaki di pantai indah Federated States of Micronesia (FSM) sebagai volunteer di Xavier High School (2014-2016). Kini masih berjuang bersama siswa-siswa STM di SMK St. Mikael Surakarta, terutama mereka yang gelisah karena tidak bisa masuk sekolah pada masa pandemi.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Tarung Sarung (2020): Sarat Nilai dalam Balutan Kisah Asmara

31 Agustus 2021   18:37 Diperbarui: 31 Agustus 2021   18:52 2607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarung Sarung (2020). Dok. Starvision.

Olimpiade Tokyo 2020 belum lama usai. Pesta olahraga sedunia pun masih berlanjut dengan penyelenggaraan Paralimpiade. Semangat kompetisi dan olahraga yang masih berkobar menjadi momen yang pas untuk membahas film-film Indonesia bertema olahraga.

Salah satu film Indonesia yang layak dibahas adalah Tarung Sarung. Sedianya film berdurasi satu jam 15 menit ini dirilis di layar lebar pada 2 April 2020. Namun, rencana itu ditunda karena wabah Covid-19 mulai meluas ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Belakangan Tarung Sarung masuk di bawah naungan Netflix dan mulai ditayangkan pada 31 Desember 2020.

Tarung Sarung merupakan salah satu film Indonesia yang mengangkat tradisi bela diri lokal Indonesia. Tepatnya film ini menampilkan Sigajang Laleng Lipa, tradisi orang Bugis, Sulawesi Selatan, untuk menyelesaikan masalah lewat pertarungan bersenjata kawali atau badik khas Bugis. Pertarungan itu dilakukan hanya jika musyawarah mufakat tidak tercapai. Yang menjadi medan laga bukanlah ring tinju atau kerangkeng oktagon, melainkan sebuah sarung; di sana sepasang petarung berusaha saling tikam demi mempertahankan harga diri.

Tradisi Sigajang Laleng Lipa itu ditampilkan di dalam film Tarung Sarung dengan penyesuaian di sana-sini. Sebagai contoh, film ini menggambarkan tarung sarung ditandingkan secara nasional, bahkan berhasil menjadi cabang ekshibisi di Olimpiade Paris 2024. Pertarungan di dalam kompetisi ini dilakukan dengan tangan kosong. Sementara itu, versi asli Sigajang Laleng Lipa sebagai penyelesaian masalah tetap dimunculkan.

Namun, sulit untuk mengatakan apakah tarung sarung mendapat peran sentral di dalam film yang disutradarai Archie Hekagery ini atau tidak, walaupun mendapat porsi tayang cukup banyak. Kesulitan itu muncul karena banyak nilai yang ingin disampaikan dalam Tarung Sarung. Nilai yang dimaksud adalah mulai dari ajakan mencintai budaya Nusantara, membangun iman kepada Tuhan hingga menjaga kelestarian lingkungan.

Daftarnya masih dapat ditambah lagi dengan pesan lain, misalnya uang tidak dapat membeli segalanya, terutama cinta. Pesan ini cukup kuat ditampilkan di dalam Tarung Sarung, khususnya lewat pusaran cinta segitiga Deni Ruso (Panji Zoni), Tenri (Maizura), dan Sanrego (Cemal Faruk). Deni digambarkan sebagai salah satu anak crazy rich Jakarta, manja, dan menganggap uang dapat membeli segala sesuatu, bahkan lebih berkuasa dari Tuhan.

Cara pandang Deni berubah setelah bertemu dengan Tenri, gadis Bugis sederhana, ketika sedang mengurus bisnis keluarganya di Makassar. Alih-alih menikmati fasilitas melimpah, demi cintanya pada Tenri, Deni rela makan di warung sederhana dan ke mana-mana tanpa pengawal. Deni juga bersusah payah belajar bela diri dari Pak Khalid (Yayan Ruhian) dan rela babak belur dihajar Sanrego beserta anak buahnya.

Sanrego sendiri digambarkan sebagai preman lokal sekaligus juara nasional tarung sarung yang sangat ingin memenangkan hati Tenri. Ia berusaha keras mendapat uang sebesar Rp 500 juta, yang ditentukan sebagai uang panai atau “bayaran secara adat” supaya dapat mempersunting Tenri. Padahal, berapapun uang yang Sanrego berikan, sejak awal Tenri sudah menolak keinginannya.

Kisah asmara Deni dan Tenri dominan ditampilkan hampir di sepanjang film, memperkuat kesan tarung sarung seolah tempelan belaka. Banyaknya pesan yang ingin disampaikan juga terkesan mengurangi nilai dari tradisi Sigajang Laleng Lipa. Tarung sarung diperlihatkan sekadar sebagai alat penyelesaian persoalan cinta segitiga ini; cinta dan penyerahan diri Tenri akan menjadi hadiah pamungkas bagi sang jawara tarung sarung, entah itu Deni ataupun Sanrego.

Padahal, jika mendalami filosofinya, seperti telah disinggung sebelumnya, Sigajang Laleng Lipa dilakukan hanya ketika musyawarah di antara pihak yang berselisih mengalami kebuntuan. Aspek musyawarah yang mendahului adu otot ini praktis lenyap ketika Deni dan Sanrego berebutan cinta Tenri. Yang muncul justru adegan baku hantam, mendahului tantangan Sanrego kepada Deni untuk melakukan Sigajang Laleng Lipa.

Selain itu, dapat dikatakan bahwa tidak ada persoalan berarti kalau yang ditampilkan adalah bela diri lain, bukan tarung sarung. Hal ini memperkuat kesan akan kurang signifikannya peran tarung sarung di dalam jalinan cerita film. Bahkan, jika, misalnya, tarung sarung diganti dengan karate, jadilah film Tarung Sarung sebagai Karate Kid versi Indonesia. Plot ceritanya sudah sesuai: pemuda “asing” yang jatuh cinta pada gadis “lokal” harus berhadapan dengan preman yang mengganggu sang gadis pujaan, berpuncak pada penyelesaian masalah lewat pertarungan bela diri di arena, dan berakhir pada kemenangan sang tokoh utama.

Menariknya, di dalam salah satu adegan, tokoh Deni dan Tenri membahas soal poster Karate Kid yang diperankan Ralph Macchio dan Pat Morita. Poster tersebut ditempel di salah satu ruang di rumah Tenri, yang disebut “ruang 80-an”, tempat penyimpanan barang-barang kenangan milik almarhumah ibu Tenri. Adegan ini menyiratkan “pengakuan jujur” soal rujukan cerita Tarung Sarung.

Namun, dalam hal ini, inisiatif untuk mengangkat bela diri lokal Indonesia, alih-alih karate atau kung fu, di dalam jalinan cerita film patut diacungi jempol. Upaya serupa sudah dilakukan banyak film, terutama yang berbicara di level internasional. Mulai dari menampilkan keindahan budaya Bali lewat Eat, Pray, Love, maupun kelincahan jurus pencak silat lewat Merantau, The Raid dan The Raid 2: Berandal. Tarung Sarung berhasil mencatatkan diri dalam daftar ini dan patut dicontoh oleh film-film Indonesia lainnya.

Keberanian ini ditambah lagi dengan konsistensi menggunakan bahasa Bugis dan Melayu Makassar sebagai pengantar percakapan di dalam seluruh film. Archie Hekagery, sang sutradara sekaligus penulis skenario, berhasil keluar dari jebakan klise FTV, yang kerap menjadikan kelokalan sebagai tempelan belaka. Sebaliknya, Archie menampilkan bahasa Bugis sebagai bahasa percakapan yang eksotis, terlebih karena jarang diangkat dalam perfilman Indonesia.

Stereotipe terhadap orang daerah menjadi jebakan klise lainnya dari FTV yang sukses dihindari Archie. Seperti yang dapat ditonton di beberapa tayangan FTV, orang daerah kerap ditampilkan lugu, bahkan cenderung bodoh, tapi bak mendapat durian runtuh ketika dijatuhi cinta oleh orang kaya ibukota. Archie tampak hampir termakan stereotipe ini ketika menampilkan tokoh Tutu (Jarot Superdj) dan Gogos (Doyok Superdj), kedua pendamping Deni selama di Makassar. Namun, jebakan itu dengan elegan dimentahkan oleh Archie melalui kehadiran sosok Tenri yang cerdas dan tidak silau terhadap kehebatan Jakarta.


Sementara itu, berbicara mengenai para pemerannya, bagi saya akting Yayan Ruhian paling unggul dibandingkan yang lain. Yayan dengan sangat baik memerankan Pak Khalid di dalam film Tarung Sarung. Aktingnya mampu membuat penonton lupa bahwa Yayan adalah orang Sunda dari Tasikmalaya, bukan Bugis. Selain itu, Yayan mampu melepaskan diri dari stempel peran penjahat yang selama ini melekat pada dirinya, mulai dari di film Merantau, The Raid dan The Raid 2: Berandal, sampai Star Wars Episode VII: The Force Awakens dan John Wick: Chapter 3 – Parabellum. Seperti yang dapat disaksikan di Tarung Sarung, Yayan berhasil menjadi guru bela diri sekaligus mentor yang berkharisma bagi Deni.

Akting aktor muda Panji Zoni sebagai pemeran utama laki-laki masih dapat dikembangkan lagi. Panji sebenarnya cukup pas memerankan Deni Russo dengan mimik sombongnya. Akan tetapi, satu mimik Panji belum cukup menggambarkan kekayaan karakter Deni yang masih bisa digali: anak kesepian yang ditinggal ayahnya dan tidak sungguh-sungguh mempunyai teman, anak sombong sekaligus manja dan pengecut, sekaligus orang kaya yang pintar sekaligus dapat diajak berpikir mendalam.

Dengan satu mimik itu, sulit bagi penonton untuk membangun hubungan emosional yang kuat dengan Deni. Entah penonton harus merasa jengkel, bersimpati, senang dan puas ketika Deni mengalahkan Sanrego, atau deg-degan seandainya Tenri tahu latar belakang Deni. Juga tidak terbit rasa bangga penonton mengetahui bahwa, bertolak belakang dari keluarganya, Deni sebenarnya mencintai lingkungan seperti Tenri. Rasanya jauh lebih puas menyaksikan Pak Khalid menghajar Sanrego dan anak-anak buahnya dengan wajah berwibawa, seolah mengatakan, “Sekarang kalian tahu, siapa jagoan yang sesungguhnya.”

Bagaimana dengan Maizura? Sebagai aktris kelahiran Makassar dan punya darah Bugis, lawan main Panji ini tampil meyakinkan sebagai gadis Bugis yang cerdas. Lihat saja twist di awal film ini, yaitu bahwa ternyata dia adalah otak di balik tingginya permintaan uang panai kepada Sanrego. Ditampilkan pula Tenri yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, adegan yang sedikit banyak menginspirasi orang pedesaan yang kerap diremehkan dalam kehidupan nyata. Kecerdasan itu diperkuat oleh sisi elegan Tenri dengan pakaian Muslim dan walkman warisan ibunya.  Jika diberi kesempatan, sebenarnya Maizura bisa memperkuat peran dengan bakatnya sebagai penyanyi, bahkan seandainya ia hanya menyanyikan sepotong lirik. Adegan tersebut dapat saja dibuat sekali atau dua kali, tanpa Tarung Sarung harus jatuh menjadi film musikal dan kehilangan kesangarannya.

Bagi saya, aktingnya sebagai Tenri yang mandiri dan percaya diri di hadapan Deni, sang anak kaya dari Jakarta, memang lebih membekas daripada sebagai aktivis lingkungan. Jika ingin diingat sebagai pecinta lingkungan, porsi dan variasi adegannya memang harus ditambah; tidak cukup hanya dengan membersihkan pantai atau satu kali berdemonstrasi menentang Ruso Corp.

Beberapa penonton kiranya masih mengingat peran Maizura di film Bebas (2019) sebagai tokoh fiksi bernama Vina Panduwinata. Sebagai Vina, Maizura cukup berhasil menampilkan sosok siswi SMA yang bertransformasi dari gadis pemalu ke seorang yang percaya diri. Terkait perannya di film Tarung Sarung, Maizura sebenarnya bisa saja membagikan pengalamannya itu kepada Panji. Selain karena punya kesamaan, yaitu memerankan anak muda yang bertransformasi, pengalaman Maizura berakting di film layar lebar juga lebih banyak.

Selebihnya, Tarung Sarung memang memanjakan aspek audio visual penonton. Lagu “Cinta” dari Vina Panduwinata, yang mengiringi kunjungan Deni ke rumah Tenri, malah melayangkan ingatan saya pada peran Maizura di dalam film Bebas. Pemandangan alam Sulawesi Selatan dan kota Makassar ditampilkan dengan apik, seolah mengundang penonton untuk berkunjung dan langsung menikmati keindahannya. Akhirnya, sebagai film, kesegaran Tarung Sarung tetap layak untuk dinikmati tanpa membuat kita mengerutkan dahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun