Nabi SAW bersabda, "Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat" (HR. Bukhari).
Yang dimaksud hadits ini bahwa bila sebuah tugas yang berkaitan dengan orang banyak, baik dalam urusan dunia maupun agama diemban orang yang tidak memiliki keahlian di bidang tersebut, ini pertanda hari kiamat (kehancuran) sudah dekat.
Hal ini juga bisa dimaknai dalam kehidupan bermasyarakat dimasa sekarang ini dalam sebuah daerah, dimana ketika sebuah jabatan atau urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tentu hasil yang diharapkan tidak akan mewakili kebutuhan atau persoalan yang berkaitan dengan orang banyak dalam daerah tersebut.
Apalagi saat ini, dimana potensi dan konflik kepentingan sangat mendominasi ditengah masyarakat kita, gaya hidup konsumtif dan hedonis, sehinga segala sesuatu hanya dihargai dengan target materi dan kekuasaan. Sehingga banyak orang atau sekelompok orang yang berlomba-lomba mengejar jabatan dan kekuasaan untuk mengatas namakan kepentingan orang banyak, namun dalam pelaksanaan lebih banyak kepada kepentingan individu dan kelompok.
Dan faktor ini lebih sering terjadi terhadap pemegang kekuasaan yang tidak mempunyai basic atau pemahaman yang baik akan tugas serta fungsi yang diembannya, sehinga dalam melaksanakan fungsi tersebut lebih banyak ditekan dan diatur oleh sekelompok orang yang dengan berbagai upaya mengejar kekuasaan demi menjaga hegemoni dan kepentingan.
Dan hal ini yang acapkali menimbulkan polemik, baik secara internal dimana fungsi tersebut berada, maupun secara eksternal dimana fungsi tersebut harusnya mewakili kepentingan umum secara dominan.
Sesuai adagium adat minang yang mengatakan, "karajo bapadok ganggam bantuak, nagari bahukum baundang-undang, malatakkan sesuatu ditampeknyo, maagiah karajo ka urang nan tau".
Apalagi ketika akan membuat sebuah keputusan yang menyangkut orang banyak, maka perlu juga diperhatikan pepatah adat yang menyebut :
“Saciok bak ayam sandancing bak basi, saiyo sakato, duduk samo rendah tagak samo tinggi”.
Artinya, pepatah diatas menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mampu mendengarkan, mempertimbangkan dan mengapresiasi setiap masukan atau pendapat dari masyarakatnya.
Adanya demokrasi dalam perihal diskusi akan sangat membantu bilamana sebuah kondisi tengah dilanda masalah. Bertukar pikiran adalah jalan terbaik untuk menemukan titik terang dan jalan keluar.