Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kosmopolitanisme: Etika dan Peradaban

8 Maret 2025   07:55 Diperbarui: 9 Maret 2025   15:51 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kosmopolitanisme (Sumber: https://www.asymptotejournal.com/)

Konon, kosmopolitanisme berakar jauh kepada Diogenes, seorang filsuf aliran sinisme dari Yunani kuna. Saat ia ditanya dari mana ia berasal, alih-alih menjawab Sinope, ia berkata: "Aku adalah seorang kosmopolites (warga dunia)."

Kata polis dalam bahasa Yunani berarti kota. Kosmopolis merupakan istilah yang merujuk pada suatu wilayah yang terhubung secara global. Kata politik dan polisi berhubungan erat dengan kata polis. Begitu pula kata Inggris polite (sopan) merujuk kepada etika warga kota yang beradab. Polites semakna dengan citizen yang awalnya berarti penduduk sebuah tempat, cite (situs). Kedua kata ini, polites  dan citizen kemudian berkembangan menjadi warga sebuah tempat atau negara. Kedua kata ini pula kemudian merujuk kepada peradaban semakna dengan tamaddun dalam Arab yang berasal dari kata madinah (kota).    

Ensiklopedia Filsafat Stanford berkenaan dengan kosmopolitanisme memberikan keterangan berikut:  

"Kata 'kosmopolitan', yang berasal dari kata Yunani kosmopolitēs ('warga dunia'), telah digunakan untuk menggambarkan berbagai macam pandangan penting dalam filosofi moral dan sosio-politik. Inti samar yang dimiliki oleh semua pandangan kosmopolitan adalah gagasan bahwa semua manusia, terlepas dari afiliasi politik mereka, adalah (atau dapat dan harus) menjadi warga negara dalam satu komunitas. Berbagai versi kosmopolitanisme membayangkan komunitas ini dengan cara yang berbeda, beberapa berfokus pada institusi politik, yang lain pada norma-norma moral atau hubungan, dan yang lainnya berfokus pada pasar bersama atau bentuk-bentuk ekspresi budaya. Dalam sebagian besar versi kosmopolitanisme, komunitas universal warga dunia berfungsi sebagai cita-cita positif yang harus dikembangkan, tetapi ada beberapa versi yang berfungsi terutama sebagai dasar untuk menyangkal keberadaan kewajiban khusus terhadap bentuk-bentuk organisasi politik lokal. Versi kosmopolitanisme juga bervariasi tergantung pada gagasan kewarganegaraan yang mereka gunakan, termasuk apakah mereka menggunakan gagasan 'kewarganegaraan dunia' secara harfiah atau metaforis. Kepentingan filosofis dalam kosmopolitanisme terletak pada tantangannya terhadap keterikatan yang diakui secara umum terhadap sesama warga negara, negara lokal, budaya yang dianut secara parokial, dan sejenisnya."

Konsep hukum kosmopolitan Immanuel Kant, menurut Pauline Kleingeld (1998) dalam Kant's Cosmopolitan Law: World Citizenship for a Global Order, yang terlalu diabaikan menunjukkan adanya ranah ketiga dari hukum publik - selain hukum konstitusional dan hukum internasional - di mana negara dan individu memiliki hak, dan di mana individu memiliki hak-hak tersebut sebagai 'warga dunia' dan bukan sebagai warga negara tertentu. Saya secara kritis mengkaji pandangan Kant tentang hukum kosmopolitan, dengan mendiskusikan sasaran, isi, pembenaran, dan pelembagaannya. Saya berpendapat bahwa konsepsi Kant tentang 'kewarganegaraan dunia' tidak hanya bersifat metaforis atau bergantung pada cita-cita pemerintahan dunia. Pandangan Kant sangat relevan mengingat pergeseran baru-baru ini dalam hukum internasional, pergeseran yang menjauh dari pandangan bahwa individu hanya dapat menjadi subjek hukum internasional sejauh mereka adalah warga negara dari negara tertentu. Dengan demikian, sebuah kategori hak telah muncul yang mendekati apa yang dipahami oleh Kant sebagai hukum kosmopolitan.

Sejak kosmos, tidak saja merujuk kepada Bumi melainkan lebih luas dari itu, maka kosmopolitanisme memiliki arti yang sama dengan universalisme. Gus Dur (1988) dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam menyatakan bahwa salah satu ajaran Islam yang dengan sempurna menampilkan universalisme adalah lima buah jaminan dasar yang diberikannya kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu adalah: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Inilah puncak dari worldview (pandangan hidup) universalisme ajaran Islam yakni menjunjung tinggi keadilan sosial yang penuh keadaban. 

Sementara kosmopolitanisme Islam jelas nampak dalam peradabannya sebagaimana dalam kata-kata Gus Dur berikut:

"Keterbukaan yang membuat kaum Muslim selama sekian abad menyerap segala macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang dikenal itu,  waktu itu di kawasan “Dunia Islam” waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang  disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam (Gus Dur, 1988)."

 Namun, kita sekarang menghadapi persoalan krusial. Nilai-nilai luhur univeralisme dan kosmopolitanisme Islam telah begeser ke arah yang memprihatinkan. Kata-kata Karim H. Karim (2022) dalam Re-asserting the Qur’an’s Cosmopolitan Ethics berikut menggambarkannya: 

"Semangat kosmopolitan [Al-Qur'an] menghargai kebaikan yang ada pada pemeluk agama monoteistik lainnya: Yahudi, Kristen, Saba' (QS 2:62). Ketika mereka melakukan perjalanan ke luar Arab, umat Islam menemukan jalur-jalur keagamaan lainnya: Zoroaster, Buddha, Hindu. Namun, cara-cara berhubungan dengan tetangga berbeda, bahkan di antara sesama Muslim. Batas-batas antara diri sendiri dan orang lain diatur dalam skala yang berubah-ubah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun