Konon, kosmopolitanisme berakar jauh kepada Diogenes, seorang filsuf aliran sinisme dari Yunani kuna. Saat ia ditanya dari mana ia berasal, alih-alih menjawab Sinope, ia berkata: "Aku adalah seorang kosmopolites (warga dunia)."
Kata polis dalam bahasa Yunani berarti kota. Kosmopolis merupakan istilah yang merujuk pada suatu wilayah yang terhubung secara global. Kata politik dan polisi berhubungan erat dengan kata polis. Begitu pula kata Inggris polite (sopan) merujuk kepada etika warga kota yang beradab. Polites semakna dengan citizen yang awalnya berarti penduduk sebuah tempat, cite (situs). Kedua kata ini, polites dan citizen kemudian berkembangan menjadi warga sebuah tempat atau negara. Kedua kata ini pula kemudian merujuk kepada peradaban semakna dengan tamaddun dalam Arab yang berasal dari kata madinah (kota).
Ensiklopedia Filsafat Stanford berkenaan dengan kosmopolitanisme memberikan keterangan berikut:
"Kata 'kosmopolitan', yang berasal dari kata Yunani kosmopolitēs ('warga dunia'), telah digunakan untuk menggambarkan berbagai macam pandangan penting dalam filosofi moral dan sosio-politik. Inti samar yang dimiliki oleh semua pandangan kosmopolitan adalah gagasan bahwa semua manusia, terlepas dari afiliasi politik mereka, adalah (atau dapat dan harus) menjadi warga negara dalam satu komunitas. Berbagai versi kosmopolitanisme membayangkan komunitas ini dengan cara yang berbeda, beberapa berfokus pada institusi politik, yang lain pada norma-norma moral atau hubungan, dan yang lainnya berfokus pada pasar bersama atau bentuk-bentuk ekspresi budaya. Dalam sebagian besar versi kosmopolitanisme, komunitas universal warga dunia berfungsi sebagai cita-cita positif yang harus dikembangkan, tetapi ada beberapa versi yang berfungsi terutama sebagai dasar untuk menyangkal keberadaan kewajiban khusus terhadap bentuk-bentuk organisasi politik lokal. Versi kosmopolitanisme juga bervariasi tergantung pada gagasan kewarganegaraan yang mereka gunakan, termasuk apakah mereka menggunakan gagasan 'kewarganegaraan dunia' secara harfiah atau metaforis. Kepentingan filosofis dalam kosmopolitanisme terletak pada tantangannya terhadap keterikatan yang diakui secara umum terhadap sesama warga negara, negara lokal, budaya yang dianut secara parokial, dan sejenisnya."
Konsep hukum kosmopolitan Immanuel Kant, menurut Pauline Kleingeld (1998) dalam Kant's Cosmopolitan Law: World Citizenship for a Global Order, yang terlalu diabaikan menunjukkan adanya ranah ketiga dari hukum publik - selain hukum konstitusional dan hukum internasional - di mana negara dan individu memiliki hak, dan di mana individu memiliki hak-hak tersebut sebagai 'warga dunia' dan bukan sebagai warga negara tertentu. Saya secara kritis mengkaji pandangan Kant tentang hukum kosmopolitan, dengan mendiskusikan sasaran, isi, pembenaran, dan pelembagaannya. Saya berpendapat bahwa konsepsi Kant tentang 'kewarganegaraan dunia' tidak hanya bersifat metaforis atau bergantung pada cita-cita pemerintahan dunia. Pandangan Kant sangat relevan mengingat pergeseran baru-baru ini dalam hukum internasional, pergeseran yang menjauh dari pandangan bahwa individu hanya dapat menjadi subjek hukum internasional sejauh mereka adalah warga negara dari negara tertentu. Dengan demikian, sebuah kategori hak telah muncul yang mendekati apa yang dipahami oleh Kant sebagai hukum kosmopolitan.
Sejak kosmos, tidak saja merujuk kepada Bumi melainkan lebih luas dari itu, maka kosmopolitanisme memiliki arti yang sama dengan universalisme. Gus Dur (1988) dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam menyatakan bahwa salah satu ajaran Islam yang dengan sempurna menampilkan universalisme adalah lima buah jaminan dasar yang diberikannya kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu adalah: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Inilah puncak dari worldview (pandangan hidup) universalisme ajaran Islam yakni menjunjung tinggi keadilan sosial yang penuh keadaban.
Sementara kosmopolitanisme Islam jelas nampak dalam peradabannya sebagaimana dalam kata-kata Gus Dur berikut:
"Keterbukaan yang membuat kaum Muslim selama sekian abad menyerap segala macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang dikenal itu, waktu itu di kawasan “Dunia Islam” waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam (Gus Dur, 1988)."
Namun, kita sekarang menghadapi persoalan krusial. Nilai-nilai luhur univeralisme dan kosmopolitanisme Islam telah begeser ke arah yang memprihatinkan. Kata-kata Karim H. Karim (2022) dalam Re-asserting the Qur’an’s Cosmopolitan Ethics berikut menggambarkannya:
"Semangat kosmopolitan [Al-Qur'an] menghargai kebaikan yang ada pada pemeluk agama monoteistik lainnya: Yahudi, Kristen, Saba' (QS 2:62). Ketika mereka melakukan perjalanan ke luar Arab, umat Islam menemukan jalur-jalur keagamaan lainnya: Zoroaster, Buddha, Hindu. Namun, cara-cara berhubungan dengan tetangga berbeda, bahkan di antara sesama Muslim. Batas-batas antara diri sendiri dan orang lain diatur dalam skala yang berubah-ubah."
Ayat-ayat universal atau kosmopolitan yang dimaksud Karim antara lain:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti) mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati (QS Al-Baqarah: 62)."
"Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (QS Ali 'Imran: 64)."
Islam sendiri, sebagaimana direpresentasikan melalui Nabi Muhammad saw, merupakan rahmat bagi seluruh alam:
"Dan tiadalah kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (Al-Anbiya': 107)."
Bahkan, kita juga menjumpai ayat Al-Qur'an yang kosmopolitan dalam makna kosmologis, seperti:
"Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayang mereka di waktu pagi dan petang hari (QS Ar-Ra'd: 15).
Kata-kata "dan bayang-bayang mereka" sangat mind provoking. Pertama, kata bayangan menunjukkan bahwa yang bersujud tersebut adalah dari kalangan makhluk berfisik dan bukan murni spiritual. Kedua, kata bayangan dapat mengandung implikasi counterpart kita di semesta yang lain sebagaimana interpretasi dunia paralel. Ayat terakhir di atas boleh jadi merupakan salah satu interpretasi atas sebuah implikasi kosmopolitanisme yang ekstrem.
Ramadan, dengan daras Al-Qur'annya, selalu menawarkan satu atau beberapa kesegaran pikiran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI