Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Dia (Kita) yang Bukan Dirinya (Kita)

19 Maret 2024   07:16 Diperbarui: 19 Maret 2024   07:23 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang lelaki di hadapan perubahan https://t.co/N6Lu2kpe9y" / X

This photograph shows a Native American man looking over the newly completed transcontinental railroad in Nevada in the year 1869. Let's assume the man was around forty and was born in the 1820s. The changes he must have seen are astonishing. What this man is looking at, is the beginning of the end of the "quiet" world. Everything he knew is about to change; everything he's known will soon be forever altered by 'progress.'  Everywhere that railroad goes, little towns will pop up, towns will turn into cities, and small stores into companies. More trains, followed by trams, cars, motorcycles, and airplanes. -- @fasc1nate

Terhenyak rasanya melihat foto berikut caption yang disertakan untuknya. Perubahan itu benar-benar perkasa. Ia menggilas tandas atau perlahan namun tak terelakan. Namun, seperti yang dikatakan Neil Gaiman dalam The Sandman: Omnia mutantur, nihil interit -- semua berubah namun tidak sungguh-sungguh hilang.

Dalam foto tersebut, seorang lelaki paruh baya berdiri tepat di depan sebuah perubahan. Beberapa menyebutnya dengan bangga sebagai kemajuan. 'Kemajuan' yang secara perlahan tapi pasti mengubah kesunyian kampung halaman sang lelaki menjadi hiruk-pikuk dan gemerlap kota.  Omnia mutantur.

Benua yang sang lelaki tadi tinggali bahkan telah berganti nama. Tanpa ia ketahui. Sebuah sebutan yang tidak pernah menjadi bagian sejarah para penghuni sebelumnya--tidak pernah merupakan bagian dari salah satu dari antara leluhurnya--telah diberikan oleh mereka yang sama sekali bukan leluhurnya: Amerika. Itulah sebutan baru bagi kampung halaman besar sang lelaki tadi.   

Adalah Waldseemller, menurut  Erin Allen dalam How Did America Get Its Name?, yang menamai tanah baru tersebut dengan nama "Amerika" pada peta tahun 1507 sebagai pengakuan atas pemahaman Vespucci bahwa sebuah benua baru telah ditemukan setelah pelayaran Columbus dan pelayaran berikutnya pada akhir abad ke-15. Sementara mengutip tulisan Javier Yanes dalam Open Mind, kita membaca:


"Versi singkat dari cerita ini adalah bahwa Vespucci-lah yang pertama kali menyadari, pada tanggal 17 Agustus 1501, bahwa Brasil yang sekarang bukanlah bagian dari Asia, melainkan Dunia Baru, dan bahwa kartografer Jerman, Martin Waldseemüller, menamai benua Amerika dengan namanya pada peta yang diterbitkan pada tanggal 25 April 1507."

Namun, versi panjangnya lebih rumit, dan memberi tahu kita, menurut Yanes, bahwa nama Amerika sebenarnya adalah hasil dari beberapa kesalahan, sedikit ketidaktahuan, dan cukup banyak fantasi.

Dua paragraf berikutnya dari Yanes semakin menarik untuk dibaca:

"Beberapa ahli berpendapat bahwa sebenarnya Ringmann dan bukan Waldseemüller yang menamai Amerika, dan bahwa Waldseemüller hanya mengizinkannya, karena peta-peta karyanya yang kemudian tidak menunjukkan nama ini. Namun ada detail yang aneh. Meskipun mungkin sulit dibayangkan di zaman internet, media sosial, dan berita terkini, pada abad ke-16 informasi beredar dengan sangat lambat. Pada tahun 1507, belum sampai ke telinga Ringmann bahwa Columbus, yang telah meninggal pada tahun sebelumnya, telah tiba di Dunia Baru sebelum Vespucci.

Setelah kematian Ringmann, Waldseemüller berhenti menggunakan nama Amerika di peta-petanya, dan hanya mencatat bahwa daratan itu telah ditemukan oleh "Christopher Columbus dari Genoa." Namun semuanya sudah terlambat. Karya tahun 1507 ini sangat berpengaruh sehingga nama Amerika disalin oleh kartografer lain dalam karya-karya berikutnya. Pada tahun 1538, ahli geografi terkenal Gerardus Mercator mencetaknya dalam Orbis Imago, peta dunia pertamanya. Selebihnya adalah sejarah. Sementara itu, Vespucci meninggal di Sevilla pada tahun 1512 tanpa mengetahui bahwa namanya akan menjadi nama sebuah benua, sebuah keistimewaan yang tidak pernah dicapai oleh manusia lainnya." 

Atas dasar pertimbangan itu, Yanes menajuki tulisannya The Cosmographer Who Unknowingly Gave His Name to the Americas, by Mistake bahwa penamaan Amerika yang mengabadikan nama Amerigo Vespucci (1454-1512) asal Florence, Italia bukanlah sesuatu yang tepat dan layak dirayakan.

Foto yang saya temukan lewat cuitan akun Twitter (sekarang, X) saat jeda sahur dan subuh tadi, menggoda tanya apakah Asia, Eropa, Afrika dan Australia mengalami hal yang sama?

Kata Asia, tulis George Adelman dalam Where Did Asia Get Its Name?, pada awalnya merupakan konsep dari bangsa Yunani pada tahun 440 SM. Dipercaya bahwa nama ini mungkin berasal dari kata 'asu', yang berarti timur. Pertama kali disebut sebagai Anatolia dalam Herodotus; namun, nama ini juga digunakan jauh sebelum itu, tetapi tidak untuk seluruh benua. Anatolia adalah nama tanah di sisi timur Laut Aegea. Kata dalam bahasa Inggris berasal dari literatur Latin, di mana kata ini disebut sebagai Asia. Namun, sumber utama dari kata ini masih belum pasti. Menurut data sejarah, Asia, Eropa, dan Libya adalah nama-nama ratu Yunani.

"Ada cerita menarik lainnya tentang nama 'Asia'. Asia dan Eropa terletak di sebelah timur dan barat Mesopotamia. Jadi, menurut bahasa Akkadia di Mesopotamia, tanah di sisi timur diberi nama 'Asia', yang berarti matahari terbit, dan tanah di sisi barat disebut 'Erebu', yang berarti matahari terbenam. Nama-nama ini langsung populer dan menyebar ke seluruh dunia," tambah Adelmen sembari menyitir asal nama Eropa.

Sakarang Afika. Kinisha C. dalam Alkebulan: The Original Name for Africa menulis:

"Salah satu aliran pemikiran berpendapat bahwa Afrika pada awalnya disebut sebagai Alkebulan oleh masyarakatnya, jauh sebelum nama Afrika muncul. Alkebulan adalah istilah asli yang tidak diberikan kepada orang Afrika oleh orang Eropa.

Dalam buku Kemetic History of Afrika, sejarawan ternama Senegal, almarhum Dr. Cheikh Anta Diop, menyatakan bahwa nama kuno Afrika adalah Alkebu-lan, yang berarti 'ibu dari umat manusia' atau 'taman eden'. Nama Alkebulan, tulisnya, digunakan oleh orang Moor, Nubia, Ethiopia dan penduduk asli lainnya. Teori ini selaras dengan teks-teks Kemetic (salah satu agama asal Mesir) dan Ethiopia yang mengurapi Afrika sebagai asal mula penciptaan."

Para ahli lainnya juga, menurut Kinisha, ada yang berteori bahwa etimologi Afrika berasal dari bahasa Arab, Romawi, Latin dan Yunani:

"Teori Arab mengasumsikan kata Arab firq atau friq, yang berarti memisahkan, membagi, atau menaklukkan, adalah akar dari kata Afrika. Hal ini memberikan dasar bahasa Arab pada etimologi Afrika.

Studi lain tentang etimologi Afrika berteori bahwa pengejaan dan kepopuleran Afrika berasal dari bangsa Romawi yang menaklukkan wilayah yang sekarang disebut Tunisia modern, dan mengidentifikasi benua ini sebagai Africa terra (bentuk feminin dari Africus, yaitu dewa mitologi Romawi), yang berarti tanah suku Afrika Utara, Afri.

Teori etimologi Afrika lainnya menyatakan bahwa asal mula pengejaan Afrika berasal dari kata Latin Afer, yang berarti hitam atau gelap, dan Aprica, yang berarti cerah.

Namun, ada juga yang berpendapat bahwa etimologi Afrika berasal dari bahasa Yunani. Phrike adalah kata dalam bahasa Yunani yang berarti tanah yang dingin dan mengerikan. Ketika didahului dengan awalan "A-", terbentuklah kata Aphrike, yang memiliki arti sebaliknya: "tanah yang bebas dari rasa dingin dan kengerian." Hal ini secara tepat mendefinisikan benua dan iklimnya yang berbeda dengan musim dingin di Eropa."

Alkebulan sendiri, menurut beberapa tulisan, berasal dari kata Arab al-Qabl (yang ada sebelumnya). Ini sangat menarik. Mengingat Afrika populer dikenal sebagai the Cradle of Humankind alias tempat buaian manusia yang darinya menyebar ras manusia menyebar.

Tibalah kita di benua paling selatan, Australia. 

Adalah penjelajah Inggris Matthew Flinders yang menyarankan nama yang kita gunakan saat ini. Dia adalah orang pertama yang mengelilingi benua ini pada tahun 1803, dan menggunakan nama 'Australia' untuk mendeskripsikan benua ini pada peta yang digambar tangan pada tahun 1804, tulis Perpustakaan Nasional Australia. Australis dalam bahasa Latin artinya selatan.

Sebuah pernyataan 'nyentrik' sempat muncul. Guru spiritual Hindu, tulis Varun Borugadda di laman Factly, Sri Sri Ravi Shankar, mengatakan bahwa selama periode Mahabharata, Australia dikenal sebagai Asthralaya, yang berarti gudang senjata.

Kita tidak berhak untuk mentertawakan satu versi dari teori. Toh penamaan bangsa Aborigin untuk penduduk asli Australia pun tidaklah seaman versi lainnya dalam penamaan. 

Dia yang Bukan Dirinya

Kembali kepada sang lelaki di foto yang saya sematkan di atas, kita seringkali bukanlah diri kita yang sebenarnya. Banyak atribusi yang tidak tepat tentang diri kita. Atau, seringkali kita mengidentifikasi secara keliru diri kita sendiri. Kalimat Dia yang bukan dirinya juga berlaku untuk kita. Ya, adakalanya kita bukanlah diri kita yang sesungguhnya.

Momentum Ramadan merupakan waktu yang tepat untuk kita menemukan siapa diri kita sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun