Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Cilukba, Fisika Kuantum dan Semesta

25 Juni 2022   20:15 Diperbarui: 6 April 2023   12:35 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teknologi warp drive dalam film Star Trek https://medium.com/

Beethoven Piano Sonata No. 14 in C-sharp Minor, Op. 27, No. 2: Sonata quasi una fantasia atau umum dikenal sebagai Moonlight Sonata mengalun pelan. Kali ini salah satu sonata paling terkenal dari Beethoven tersebut dimainkan dengan gitar oleh Eric Henderson. Ini tentu merupakan hal yang menantang. Umumnya komposisi klasik ditulis untuk piano, bukan untuk gitar meski Beethoven sendiri, menurut Lucas Brar, suatu kali berujar, "Gitar adalah miniatur orkestra dalam dirinya sendiri." Atau, Chopin sebagaimana sering dikutip, berkata, "Tidak ada yang lebih indah dari sebuah gitar, kecuali berangkali [tidak lebih dari] dua [hal]." Nampak salah satu yang Chopin maksudkan, saya kira adalah piano. Permainan gitar murid dari Andres Segovia ini benar-benar membuat Sabtu pagi, sekaligus hari ketiga libur akhir tahun pelajaran di Al-Wahid, terasa semakin indah. 

Moonlight Sonata sejatinya adalah lagu malam. Seperti halnya, Nocturne in E-flat major, Op. 9, No. 2 karya Chopin. Hanya saja komposisi yang kedua ini terlalu sendu, atau malah terlalu sedih. Lagu malam di pagi hari itu layaknya menyantap menu makan malam saat sarapan. Hanya saja bagian terlucunya, menu makan di rumah nyaris tidak berbeda untuk pagi, siang dan malamnya. Atas alasan itulah Moonlight Sonata sah-sah saja mengalun pelan pagi ini menemani kekaguman saya atas paparan Matthew John O'Dowd tentang ruang-waktu. Matt, begitu panggilan untuk Matthew John O'Dowd, menjelaskan perdebatan sengit antara Niels Bohr dan Albert Einstein tentang Quantum Entanglement (Ikatan Kuantum).

Relasi Rumit Bohr dan Einstein 

Sebagai orang awam saya menyimpulkan bahwa salah satu kehebatan para fisikawan teoritis adalah kemampuan mereka dalam memvisualisasikan dan mensimulasikan gagasan mereka dalam pikiran dan persamaan matematis. Gagasan mereka kemudian terbukti secara ekperimental di laboratorium. Perdebatan Niels Bohr dan Albert Einstein di tataran teoritis memerlukan 'penerjemah' sehingga lebih bisa diikuti lebih luas. Michio Kaku, Brian Greene dan Matthew John O'Dowd merupakan tiga dari sekian banyak penerjemah kerumitan fisika kuantum favorit saya.

Bohr dan Einstein merupakan dua orang sahabat sekaligus rival sengit. Hubungan mereka sangat rumit.  Saya coba gambarkan keruwetan persahabatan keduanya. Pada tahun 1905, Einstein mengajukan keberadaan foton, dan Compton membuktikan bahwa foton itu secara eksperimental ada pada tahun 1922, tetapi Bohr menolak untuk percaya bahwa foton itu ada bahkan saat itu. Bohr bersama Kramers dan Slater menolak keberadaan kuantum cahaya (foton) dengan menulis teori BKS pada tahun 1924. Sederhananya, Einstein mengambil gagasan dasar quanta (paket energi) dari Max Planck, dan menyatakan bahwa cahaya bergerak dalam paket-paket energi, yang mana setiap paket cahaya itu disebut sebagai foton. Einstein bersama Planck bisa disebut sebagai salah satu pendiri madzhab teori kuantum.

Akan tetapi pada gilirannya, Einstein menolak habis-habisan mekanika kuantum. Paradigma baru dalam berfisika yang lahir dari salah satu karyanya sendiri. Einstein selalu percaya bahwa segala sesuatu itu pasti, dan kita bisa menghitung semuanya. Karena itulah dia menolak mekanika kuantum, karena faktor ketidakpastiannya. Sebuah ujaran legendaris yang sering kita temukan 'Tuhan tidak bermain dadu' melukiskan ketidaksenangannya terhadap prinsip ketidakpastian dalam fisika kuantum. Begitu pula halnya dengan penolakannya terhadap quantum entanglement yang lahir dari paradox yang Einstein sendiri teorikan sebelumnya---yang ia sebut sebagai spooky action at a distance (tingkah menyeramkan dari kejauhan).

Cogito Ergo Sum

"Gagasan bahwa alam semesta tetap ada ketika kita tidak melihatnya adalah asumsi tersirat yang cukup mendasar di balik semua fisika klasik. Memang, sebagian besar ilmu pengetahuan menerima begitu saja bahwa alam semesta itu nyata, apakah kita melihatnya atau tidak," ungkap Matt dalam paparannya, "Gagasan bahwa alam semesta ini ada terlepas dari pikiran pengamat, dalam fisika, disebut realisme. Tetapi mekanika kuantum sangat aneh sehingga masih membuat para ilmuwan bertanya-tanya apakah kita perlu menolak bahkan premis dasar ini. Ini adalah sumber dari salah satu perdebatan paling sengit pada saat munculnya mekanika kuantum."

Di satu sisi, menurut Matt, Niels Bohr bersikeras bahwa tidak ada artinya untuk menetapkan realitas ke alam semesta tanpa adanya pengamatan. Dalam interval antara pengukuran, sistem kuantum benar-benar ada sebagai campuran kabur dari semua sifat yang mungkin---apa yang kita sebut sebagai superposisi. Di antara pengamatan, fungsi gelombang yang menggambarkan superposisi ini adalah deskripsi lengkap tentang realitas. Dan pengalaman kita tentang alam semesta material yang terdefinisi dengan baik hanya memiliki makna pada saat pengukuran. Alam semesta peekaboo (cilukba) ini adalah inti dari interpretasi Kopenhagen Bohr."

Tafsiran Niels Bohr tentang apakah realitas semesta ini ada karena kita mengamatinya. Kita tidak bisa mengatakan realitas itu ada tanpa adanya pengamatan. Matt menganalogikannya dengan permainan cilukba pada bayi. Saat kita menutup wajah kita (adakalanya cukup bagian mata saja), maka bayi dengan naifnya menganggap kita tidak ada. Lalu saat kita melepaskan kedua tangan kita, sambil mengatakan 'ba!', maka bayi tergelak dalam tawa. Ia menganggap kita tiba-tiba muncul dari dari ketiadaan.  Begitu Matt menganalogikan penafsiran Niels Bohr tentang realisme dalam fisika kuantum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun