Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Merdeka Belajar, Bukan Merdeka dari Belajar

3 Mei 2022   10:47 Diperbarui: 3 Mei 2022   17:42 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penerapan sistem Merdeka Belajar bagi siswa. Sumber: Tanoto Foundation via Kompas.com

Peter Gray memilih jalan moderat dalam menyentil sistem persekolahan (kini selalu diidentikan dengan pendidikan) dengan proposal gagasan Free to Learn. Mas Menteri kita kemudian mengadopsinya ke dalam sistem pendidikan kita dengan jargon Merdeka Belajar.

Image caFree to Learn: Why Unleashing the Instinct to Play Will Make Our Children Happier, More Self-Reliant, and Better Students for Lifeption (www.goodreads.com)
Image caFree to Learn: Why Unleashing the Instinct to Play Will Make Our Children Happier, More Self-Reliant, and Better Students for Lifeption (www.goodreads.com)

Merdeka Belajar

Gray menekankan spirit belajar pada keriangan dan keingintahuan. Judul buku yang ia susun untuk mengemas gagasannya adalah Free to Learn: Why Unleashing the Instinct to Play Will Make Our Children Happier, More Self-Reliant, and Better Students for Life. Ide dan gagasan lahir dari ketenangan, keriangan dan keingintahuan. Bukan keterpaksaan. 

Tantangan tidaklah sama dengan keterpaksaan. Tantangan mendorong seseorang untuk belajar. Keterpaksaan akan hanya membuatnya bersikap defensif. Peter Gray berpendapat bahwa anak-anak kita, jika bebas untuk mengejar minat mereka sendiri melalui bermain, tidak hanya akan belajar semua yang perlu mereka ketahui, tetapi akan melakukannya dengan energi dan semangat. 

Anak-anak terlahir ke dunia ini dengan semangat untuk belajar, dilengkapi dengan rasa ingin tahu, keceriaan, dan kemampuan bersosialisasi untuk mengarahkan pendidikan mereka sendiri. Namun kita telah memadamkan naluri seperti itu dalam model sekolah yang awalnya dikembangkan untuk mengindoktrinasi, bukan untuk mendorong pertumbuhan intelektual.

Bila sekolah sudah menjadi ladang persemaian beragam benih yang merdeka untuk tumbuh. Tidak untuk menjadi pohon yang sama, tidak untuk selalu sama dalam tinggi, rupa dan aroma, Ivan Illich akan berhenti merutuk dari kuburnya. Sekolah akan menjadi tempat yang dicita-citakan peserta didiknya untuk belajar di dalamnya. 

Tidak ada stigma bodoh atau tidak berbakat di dalamnya. Senyum akan merekah di wajah para pebelajar seperti Eddie van Halen yang ceria saat berkreasi; Senaif Archimides yang berlari nyaris setengah telanjang di jalanan Sirakus, Yunani sambil berseru 'Eureka' (Saya menemukannya!) saking antusiasnya saat sebuah ide menyambanginya ketika tengah mandi; seasyik Galileo yang bolak-balik menjatuhkan bulu unggas dan koin dari menara miring Pisa; dan tak terhitung penemuan-penemuan yang lahir dari ketekunan dan kenaifan dalam mencoba hal yang baru. Sekolah akan melahirkan keberagaman bukan keseragaman.

Free to Learn Bukan Free from Learning

Sebuah tantangan berdiri kokoh di hadapan sekolah. Kemajuan teknologi khususnya di bidang teknologi informasi dan media sosial. Daya tahan baca merosot ke lunasnya. Daya kritis memuai seiring dimanjakan oleh kemudahan mendapatkan informasi. Literasi yang rendah merupakan anak haram dari mudahnya akses kepada sumber-sumber literasi. Inilah tantang terberat yang dihadapi sekolah.

Dalam buku The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters (Matinya Kepakaran: Kampanye Menghadapi Pengetahuan yang Mapan dan Mengapa itu Perlu) yang ditulis Tom Nichols pada tahun 2017 kita membaca bahwa memang di satu sisi internet telah membuka akses yang setara kepada pengetahuan, namun di lain sisi, ia juga menurunkan ukuran sebarapa dalam pengetahuan yang dicapai untuk menganggap seseorang dianggap sebagai "ahli".  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun