Suara itu. Suara yang sama yang menghantui mimpinya selama dua tahun. Rendra menoleh perlahan. Di depannya, berdiri seorang wanita yang terlihat sedikit lebih dewasa, namun matanya tetap sama, penuh dengan kehangatan. Riska.
Jantung Rendra berdebar kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Semua kata-kata yang telah ia siapkan, semua alasan yang ia susun, tiba-tiba lenyap.
"Kau kembali," bisik Riska, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.
"Aku... aku hanya mampir," jawab Rendra, suaranya serak.
Mereka terdiam. Senja di balik pepohonan yang beradu dengan temaran lampu kota maghrib itu terasa lebih hening. Riska menatapnya, seolah mencari jawaban yang tak pernah ia dapatkan.
"Kenapa, Rendra?" tanyanya akhirnya. "Kenapa kamu pergi?"
Rendra menunduk. Ia tidak bisa menjawab. Ia tidak bisa mengatakan bahwa ia gagal melupakan Riska, bahwa setiap langkah yang ia ambil hanya membawanya lebih dekat pada kenangan mereka. Ia tidak bisa mengatakan bahwa ia menyesal.
"Aku... aku hanya mengejar mimpiku," bisiknya.
Riska mengangguk perlahan. Senyumnya pudar, digantikan oleh tatapan yang penuh dengan kesedihan.
"Aku mengerti," katanya. "Tapi kamu tahu, Rendra? Impian yang meninggalkan hatimu, itu bukanlah impian."
Kata-kata itu bagaikan ombak yang menghantam karang. Rendra menatap Riska, melihat semua yang telah ia korbankan. Ia berkelana ke ujung negeri, menapaki puncak-puncak tertinggi, hanya untuk menyadari bahwa satu-satunya tempat yang ia cari adalah di samping Riska, di bangku taman yang usang ini.