"Setelah membaca dan menikmati karya dari Brian Khrisna, Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati, saya merasa tertantang untuk bisa buat karya novel sendiri".
Kegemaran pada menulis nggak lengkap rasanya kalau belum mampu menerbitkan buku sendiri, iya itu yang ada dalam pikiran saya saat itu.
Makanya saya menggebu-gebu untuk belajar hingga belanja beberapa buku novel sebagai inspirasi saya untuk memulai menulis novel karangan saya sendiri.
Awalnya sih nggak ada masalah, semua berjalan lancar, konsep tertulis dengan jelas, penokohan dan alur tergambar cukup nyata. Hingga datanglah kebuntuan yang buat saya mumet untuk melanjutkan cerita, mana lagi jumlah halaman belum mencapai target. Ah buat saya pusing.
Ternyata jadi penulis seperti Brian Khrisna, Fiersa Besari, Puthut EA atau Tere Liye nggak semudah yang dibayangkan. Tapi seenggaknya saya sudah berani memulai untuk menerbitkan buku pertama saya, meski belum paripurna.
Menulis Buku Nggak Sekadar Mengarang Cerita
Perbedaan mendasar menulis buku dengan menulis artikel atau cerita pendek menurut saya adalah menulis buku harus pintar menjaga momen dalam cerita.
Kalau cerpen atau artikel pendek yang sekali seduhan kopi langsung habis dibaca nggak perlu konflik yang panjang, yang penting klimaks saja. Beda dengan novel yang terdiri dari banyak bab dan 100-an halaman.
Di sini kadang terjadi kebuntuan yang buat mumet, harus nyari cerita, konflik dan alur seperti apa lagi biar ceritanya mind blowing.
Nggak salah memang kalau ada ungkapan, "sebelum menulis, banyakin baca buku", maksudnya biar tulisannya nggak kosong alias berdaging.
Belum lagi memilih diksi atau gaya bahasa yang konsisten, bukan yang gado-gado. Satu paragraf EYD, paragraf lainnya bahasa slankers.