Mohon tunggu...
Dody Wibowo
Dody Wibowo Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti bidang Pendidikan Damai

Konsultan untuk bidang pendidikan damai dan studi perdamaian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akhiri Kekerasan pada Anak

24 Juli 2016   07:34 Diperbarui: 24 Juli 2016   12:06 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Akhiri Kekerasan pada Anak” itu adalah tema peringatan Hari Anak Nasional 2016. Jika melihat angka kekerasan yang terjadi pada anak di Indonesia, angkanya cukup membuat sedih. Berita di Sindonews.com di tahun 2014 menyampaikan hasil penelitian dari Komite Nasional Perlindungan Anak yang menyatakan jumlah kasus kekerasan di sekolah meningkat dari 147 kasus di tahun 2012 menjadi 255 kasus di tahun 2013.

Penelitian dari Plan International di tahun 2014 di berbagai sekolah di Indonesia menyatakan bahwa kekerasan pada anak ini tidak hanya dilakukan oleh tenaga pendidik maupun non-pendidik, tapi juga oleh teman sepermainannya. Bentuk kekerasannya pun bermacam-macam, mulai dari kekerasan berbasis gender, kekerasan fisik dan seksual, kekerasan psikis, dan ancaman. Kekerasannya terjadi di sekolah, rumah, dan dalam perjalanan dari rumah atau sepulang sekolah.

Kekerasan itu pilihan dan bisa dipelajari. Dan, ANAK-ANAK ADALAH PENIRU YANG PALING PIAWAI. Ketika orang dewasa melakukan kekerasan pada anak, anak korban kekerasan akan merekam dalam ingatan dan suatu saat nanti, ketika anak tidak mendapatkan pendampingan yang memadai, akan menggunakan kekerasan pula ketika merespon suatu masalah. Begitu pula ketika anak terbiasa melihat tontonan kekerasan, dia akan merekam dalam ingatan dan ada kemungkinan untuk menggunakannya suatu saat nanti.

Kekerasan yang dilakukan oleh anak bukan hanya berupa tindakan agresif yang dilakukan pada orang lain, tapi anak juga bisa melakukan kekerasan pada dirinya sendiri. Sebuah contoh dari teman saya, dia menceritakan tentang anaknya yang beberapa kali melihat orangtuanya bertengkar. Sang anak memang tidak menunjukkan perilaku agresif, tetapi ketika dia mendapat kekerasan dari temannya, dia diam dan tidak melaporkan. Ketika ditanya, dia hanya mengatakan tidak apa-apa. Dia tidak melakukan kekerasan pada orang lain, tetapi dia melakukan kekerasan pada dirinya sendiri dengan membiarkan dirinya menjadi korban.

Kekerasan pada anak menjadi tanggung jawab bersama kita semua dan bukan hanya tanggung jawab orangtua dan sekolah. Kita, masyarakat umum yang merasa tidak punya hubungan langsung dengan kehidupan anak-anak, sebenarnya memiliki kontribusi juga pada kasus-kasus kekerasan pada anak. Di jaman modern dimana informasi secara mudah bisa diakses oleh siapapun, juga jamannya media sosial yang sudah menjadi bagian hidup kita sehari-hari, apapun yang kita bagikan di media sosial maupun media informasi lainnya (televisi, media cetak, film, dan lainnya) bisa diakses pula oleh anak-anak. 

Saat ini masih hangat di dunia maya perbincangan tentang sesosok remaja yang perilakunya dikritik oleh para orang dewasa karena memberi contoh yang tidak sepantasnya, akan tetapi perilaku dan gaya hidup sang remaja ini malah dipuja oleh banyak remaja. Di sini kita bisa melihat bagaimana media sosial tanpa saringan apapun bisa langsung diakses dan mempengaruhi pola pikir seseorang. Kita juga bisa melihat contoh banyaknya orang-orang yang membagi berita-berita dan gambar-gambar provokatif dan mereka membagikannya tanpa memikirkan dampaknya bagi mereka yang melihat dan membaca. Kita tidak bisa selama 24 jam secara penuh mengawasi apa yang anak-anak lihat dan pelajari tetapi kita harus melakukan sesuatu agar anak terlindung dari kekerasan.

Kita perlu menjaga anak agar tidak menjadi KORBAN kekerasan, tetapi juga menjaga agar anak tidak menjadi PELAKU kekerasan. Mari, orangtua dan sekolah semakin bijak dalam membimbing anak-anak – terutama dalam menanamkan nilai-nilai perdamaian dan mengajarkan pilihan nir-kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan kita, sebagai anggota masyarakat, juga harus meningkatkan kesadaran kita dan bijak dengan apa yang kita lakukan dan kita bagikan, kita pikirkan apa dampaknya bagi yang mengakses informasi yang kita bagikan, terutama jika ada anak yang bisa mengakses informasi kita. Pendidikan dan perlindungan anak adalah tanggung jawab kita bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun