Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Trumpology: Politik Simulasi di Era Digital

10 Juli 2025   09:09 Diperbarui: 10 Juli 2025   09:09 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di suatu hari di bulan Juni 2025 sebuah unggahan media sosial menggoncang dunia."Gencatan Senjata Total Telah Tercapai", demikian unggahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di media sosial miliknya Truth Social. Tak ada konferensi pers Dewan Keamanan PBB. Begitupun tak ada kesepakatan damai hasil perundingan para menteri luar negeri.Semuanya tiba-tiba. Namun dunia perlahan percaya perang Iran-Israel telah berakhir.

Beberapa jam setelah unggahan presiden Amerika ke-47 itu rudal Iran masih memporak-porandakan Israel. Di sisi lain tak ada konfirmasi penghentian operasi militer oleh Israel. Namun intensitas konflik di lapangan mereda. Masyarakat Iran merayakan "perdamaian" sekaligus kemenangan di jalanan. Sedangkan warga Israel berekreasi di pantai. Mereka tidak merespon kenyataan di lapangan melainkan tunduk pada narasi yang sudah beredar.

Trump sukses memainkan peran sebagai produser kenyataan. Ia tidak menunggu fakta. Trump menciptakan kerangka faktual melalui pernyataan yang kemudian dipercaya dan diikuti. Ia mengubah persepsi waktu.Masa depan (gencatan senjata) menjadi masa kini (pernyataan diunggah) dan akhirnya membentuk masa lalu (serangan telah berhenti).

Fenomena ini bukan sekadar anekdot politik digital.Inilah yang disebut Christian Fuchs (2018) sebut sebagai Trumpology. Sebuah konfigurasi ideologi, komunikasi, dan kapitalisme otoriter yang bersandar pada personalisasi ekstrem pemimpin. Fuchs dalam Digital Demagogue menunjukkan bagaimana Trump menggunakan media sosial untuk menjalankan bentuk komunikasi politik yang memotong jalur institusional (going directly public).Tak hanya bypass media arus utama, namun juga struktur negara.

Trumpology beroperasi dengan logika spektakel kepresidenan (presidential spectacle). Alih-alih melalui deliberasi rasional, kekuasaan dipertontonkan lewat citra, simbol, dan dramaturgi yang disebar langsung kepada publik. Retorika kawan-lawan, nasionalisme eksklusif, dan skema hierarki maskulin-militeristik menjadi pola tetap. Fuchs mengistilahkannya sebagai pola otoritarianisme digital. Pemimpin berkomunikasi langsung dengan rakyat. Sekaligus  mengonstruksi siapa musuh dan siapa yang harus diselamatkan.

Unggahan teranyar Trump membuktikan teori Fuchs. "Saya tahu persis lokasi persembunyian Ayatollah dan saya melarang Israel ataupun militer AS yang terhebat di dunia untuk memburunya. Saya menyelamatkan dia dari kematian yang memalukan dan dia bahkan tidak perlu mengatakan, 'Terima kasih, Presiden Trump'," tuturnya. (Kompas.id,28/6/25). Unggahan Trump ini ingin mencitrakan dirinya sebagai pahlawan tunggal. Pemegang kendali hidup-mati tokoh dunia. Secara personal Trump mencitrakan bahwa nasib Ayatollah ada digenggamannya. Walaupun realitasnya tidaklah demikian.

Yu Ouyang dan Richard Waterman dalam Trump, Twitter, and the American Democracy (2020) menyebut gaya komunikasi Trump sebagai pergeseran dari model presidensial mediatif menjadi demagogik. Kemampuan memobilisasi emosi publik melalui pesan-pesan langsung yang melampaui lembaga. Unggahan Trump tak jarang membuat juru bicara Gedung Putih sendiri terkejut.

Dalam The Gulf War Did Not Take Place  Baudrillard menyatakan perang modern lebih banyak berlangsung dalam representasi ketimbang dalam realitas objektif. Gencatan senjata yang diumumkan Trump adalah contoh mutakhir. Unggahannya tidak menunggu fakta. Melainkan menciptakan simulacrum, bayangan realitas yang justru lebih kuat dari kenyataan itu sendiri. Fakta lapangan menjadi tunduk pada algoritma viralitas.

Rakyat Iran dan Israel merayakan "perdamaian" bukan karena proses diplomasi resmi, melainkan karena telah terhubung secara emosional oleh narasi yang muncul di ponsel mereka.Raymond Williams menyebutnya sebagai struktur perasaan (structures of feeling). Sebuah situasi pengalaman kolektif tidak lagi dibentuk semata oleh kondisi material. Melainkan oleh sirkulasi afeksi dalam representasi budaya.

Trumpology dengan demikian bukan hanya fenomena Amerika, tetapi gejala global komunikasi politik hari ini. Situasi ketika pemimpin bertransformasi menjadi produser realitas.Memanfaatkan platform digital untuk melewati sistem checks and balances. Mengukuhkan personal branding sambil menanamkan retorika eksklusif. Trumpology, seperti dicatat Fuchs, adalah ketika bentuk komunikasi  meskipun menghibur, tetapi juga membangun landasan legitimasi kebijakan otoriter sekaligus menormalisasi politik kebencian.

Lalu bagaimana dunia dan Indonesia khususnya memitigasi Trumpology? Indonesia perlu memastikan presiden, pejabat dan lembaga pemerintah tidak meniru pola komunikasi media sosial yang memotong mekanisme prosedural. Keputusan publik seperti perang, damai, dan semua kebijakan strategis harus diumumkan secara akuntabel. Bagi media arus utama jurnalisme investigasi dan slow journalism perlu diperkuat.Trumpology dapat hidup karena disokong media yang menikmati drama, mengejar engagement alih-alih kontrol kualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun