Kekurangan komunikasi publik pemerintahan Prabowo-Gibran  ternyata langsung dibenahi. Tidak tanggung-tanggung Presiden Prabowo sendiri yang melakoninya. Bagaimana caranya? Menerima wawancara pimpinan media nasional.
 Wawancara  Presiden Prabowo Subianto pasca Idul Fitri dengan enam pemimpin redaksi media nasional boleh jadi momen langka. Menariknya tidak ada batasan pertanyaan. Apapun pertanyaan dijawab. Bahkan durasi wawancara diperpanjang atas inisiatif Presiden.
Acara bertajuk Presiden Prabowo Menjawab itu menjadi nilai plus dalam sebuah proses demokrasi. Di tengah budaya politik yang cenderung tertutup dan penuh pencitraan, wawancara presiden bak angin segar yang menenangkan masyarakat. Wawancara tersebut menjadi simbol masih hidupnya fungsi kontrol media. Harapan bahwa kekuasaan masih bisa dimintai pertanggungjawaban pun mencuat.
Di sisi kehumasan reputasi Prabowo, yang meskipun orang militer, melalui wawancara itu  mendapat tone positif karena penguasaan isu. Tidak dibatasinya pertanyaan para pemimpin media nasional tersebut memproduksi citra presiden yang transparan dan menguasai persoalan. Legitimasi simbolik muncul: Prabowo adalah orang yang dapat diajak bicara.
Meskipun demikian sesungguhnya di balik semangat transparansi  dan legitimasi simbolik tersebut, tersimpan kerja ideologi yang halus dan rumit. Itulah sebabnya pendekatan kritis, khususnya pendekatan  Marxis, tetap relevan untuk membaca setiap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Apalagi dinamika kekuasaan dan ketimpangan sosial terus terjadi.
Pendekatan kritis ala Marx akan mendorong kesadaran kritis. Kita tidak akan mudah menerima status quo. Ketika  membaca atau menyaksikan acara Presiden Prabowo Menjawab maka kekritisan akan mengantar kita pada pertanyaan utama: siapa sesungguhnya yang diuntungkan di acara ini? Marx mengingatkan bahwa media seringkali digunakan untuk mempertahankan kekuasaan kelas penguasa, Di era digital, algoritma di media sosial membuat tesis Marx tentang media tetap relevan.
Analisis kritis juga menjadi alat pengujian tesis Marx lainnya bahwa janji kemakmuran untuk semua, yang sering muncul di kampanye para pendukung kapitalisme, seringkali hanyalah ilusi. Di era konsumerisme dan utang pribadi yang menggunung, tesis Marx ini menjadi semakin penting.
Wawancara Presiden dengan pimpinan 6 media nasional dalam kacamata Marx adalah dinamika ideologi, kekuasaan, dan relasi produksi masyarakat kapitalis. Marx meyakini media tidak pernah netral. Namun cenderung menjadi alat produksi dan reproduksi ideologis kelas yang berkuasa. Nilai-nilai kelas yang berkuasa (nasionalisme, stabilitas, atau modernitas) disebarkan melalui proses internalisasi via media.
Wawancara empat jam tanpa batasan pertanyaan sesungguhnya ingin menunjukkan keterbukaan, rasionalitas, serta legitimasi melalui instrument media yang dipercaya publik. Di sisi lain wawancara tersebut adalah mediasi simbolik yang mengaburkan relasi kekuasaan sebenarnya. Boleh jadi sesungguhnya acara ini adalah proses hegemoni melalui kepentingan yang dibungkus dialog dan transparansi.Kekuasaan sesungguhnya ingin mengendalikan narasi publik.
Patut diingat pula wawancara presiden dengan pimpinan media nasional ini terjadi ketika situasi perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Jatuhnya nilai rupiah, terjun bebas IHSG akan membuka dugaan bahwa wawancara ini adalah respon terhadap tekanan ekonomi yang mempengaruhi masyarakat. Diharapkan setelah wawancara terpublikasi keresahan masyarakat berkurang walaupun sesungguhnya struktur ekonomi yang mendasarinya tidak berubah.
Enam pimpinan media nasional yang diundang hadir ke acara Presiden Prabowo Menjawab adalah representasi industri media yang bergantung pada sistem kapitalis: iklan, pemilik modal dan negara. Wawancara tersebut adalah antarmuka kepentingan kelas dominan politik (negara) dan kelas dominan ekonomi (media besar). Negara memerlukan legitimasi. Sementara media memerlukan akses agar tetap eksis dan relevan.