Mohon tunggu...
Dewi Nurita Piliang
Dewi Nurita Piliang Mohon Tunggu... Guru - Simple

hanya sekelumit debu yang berusaha menjadi berguna ll Dreamer, Writer, Vounteer, Teacher. ll Pemimpi yang gila juga penggila kata ll

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Tuli yang Tak Tuli

10 Januari 2016   11:44 Diperbarui: 10 Januari 2016   12:43 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Tuli ..tuli.”. “Tuliiiiiiiiiii”
“Iyaaa..sebentar bu, “ jawab si tuli.
“Kamu ini dipanggil dari tadi kok baru nyahut” tukas ibunya.
“Maaf bu, saya tidak dengar.” ujar si tuli
“Kenapa raut mukamu suram begitu? “ tanya ibunya.
“AKU INGIN GANTI NAMA !” teriaknya kasar pada ibunya.
“Aku malu bu, banyak teman-temanku memanggilku tuli, guruku juga sering memanggilku dengan sebutan tuli, terkadang ibu juga, kenapa harus tuli sih bu? Aku kan tidak tuli.aku sudah besar bu, dan aku malu. ” Tambahnya emosi.

Ibu hanya tersenyum simpul tak menanggapi pertanyaan si tuli. Si tuli semakin emosi. Lalu sang ibu menyuruhnya mengambil sebuah buku di kamar ibu. Tuli menolak, karena ia masih menggeram sementara ibunya menyuruhnya melakukan hal lain, bukan justru menjawab pertanyaannya. Dan sang ibu pun pergi ke kamar dan mengabaikan anaknya yang sedari tadi menggerutu di ruang tamu.
Dan beberapa saat sang ibu keluar sambil membawa buku yang cukup tebal, biografi tokoh dunia judulnya. Ibu asyik membolak-balik buku mencari halaman tertentu, sementara si tuli tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya, dan terus menggerutu agar namanya diganti saja.

“Nah ini dia!” sang ibu tersenyum senang setelah menemukan halaman yang dicarinya.

Ibu perlahan menjelaskan kepada si tuli, “Namamu itu Multatuli, bukan tuli. Tuli hanya sebuah panggilan orang-orang agar lebih singkat memanggil namamu. Ya, terkadang ibu juga minta maaf terkadang suka memanggilmu seperti itu saat kau tidak dengar ibu memanggilmu. Kau tahu, nama itu adalah pemberian dari almarhum ayahmu, memiliki makna yang sangat dalam. Ayahmu meninggal saat ibu masih mengandungmu 6 bulan. Ayahmu adalah seorang yang rajin membaca dan mengenal banyak tokoh di dunia lewat jendela dunia . Eduard Douwes Dekker adalah tokoh idolanya. Seorang pejabat Belanda yang sangat idealis di jaman colonial Belanda dan sangat peduli terhadap kemelaratan bangsa pribumi yang ditindas oleh kesewenang-wenangan penjajah dari bangsanya sendiri. Beliau berani menantang yang salah dan memperjuangkan apa yang benar, meskipun ia sendiri harus menderita. Oleh karenanya ia menulis sebuah buku dengan nama pena Multatuli, yang artinya “Aku yang menderita”. Buku itu berjudul Max Havelaar, seorang tokoh utama didalam buku tersebut yang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Pejabat Belanda yang hidup menderita karena membela nasih kaum jajahan negaranya sendiri. “ jelas ibu, sementara tuli masih mendengarkan dengan seksama.

Kemudian ibu melanjutkan ceritanya,"Tepat usia kandungan ibu 5 bulan, ayahmu sedang mengelus-elus perut ibu yang mulai membesar seraya berkata “ Entah perempuan atau lelaki, Kita akan beri nama anak ini Multatuli. Agar ia punya nurani yang tidak tuli. Menderita jika melihat orang lain menderita. Kau tahu, jaman sekarang ini begitu banyak manusia yang tidak tuli tapi nurani mereka tuli terhadap sesama.” Jelas ibu dengan mata berkaca-kaca.

Si tuli memeluk sang ibu dengan erat, dan berkata ”Namaku ‘tuli, Multatuli. Terserah orang memanggilku si ‘tuli. Tapi aku tidak tuli ibu, hati maupun nurani, ibu.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun