Menurut pandangan saya, arkeologi merupakan satu-satunya ilmu yang unik. Ya dikatakan unik karena arkeologi itu ilmu yang 'serakah'. Bayangkan kalau menemukan fosil manusia purba, arkeolog harus belajar pengetahuan tentang anatomi manusia. Kalau menemukan logam-logam kuno, arkeolog harus belajar arkeo-metalurgi. Kalau menemukan koin-koin kuno, arkeolog harus mendalami ilmu numismatik. Begitu seterusnya, pokoknya seabreg-abreg deh. Namun ilmunya belum dianggap penting oleh banyak kalangan. Terlihat banyak lulusan arkeologi justru banyak bekerja di luar bidang arkeologi. Sebaliknya, benda-benda arkeologi banyak diburu orang karena dianggap bernilai komersial tinggi. Bahkan bisa dipakai sebagai alat investasi. Karena itulah terjadi perburuan benda-benda kuno secara liar, baik di daratan maupun di perairan.
Tentang ilmunya, boleh dikatakan arkeologi sudah berusia tua. Ilmu arkeologi sudah ada sejak zaman pra-kemerdekaan. Nah, beginilah sejarahnya sebagaimana saya peroleh dari berbagai literatur.
Pada 4 Desember 1940 dibuka Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat) di Jalan Medan Merdeka Barat 13 sekarang. Namun karena terjadi Perang Dunia II, fakultas tersebut tidak dapat menjalankan tugasnya. Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte baru dibuka kembali pada 1946 sebagai bagian dari Nood Universiteit (Universitas Darurat).
Pada 21 Maret 1947 Nood Universiteit berganti nama menjadi Universiteit van Indonesië. Selanjutnya pada 2 Februari 1950 Universiteit van Indonesië diambil alih oleh Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia. Sejak itu namanya berubah menjadi Universitas Indonesia. Ketika pertama kali dibuka, Jurusan Arkeologi sudah termasuk di dalamnya. Mulanya bernama Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuno.
Meskipun dibuka pada 1940, namun lulusan pertama baru dihasilkan pada 21 Mei 1953. Ketika itu memang kondisi negara sedang terpecah karena masalah politik. Selama empat tahun (1954-1957), Universitas Indonesia tidak menghasilkan lulusan.
Bahkan selama bertahun-tahun Jurusan Arkeologi sepi calon mahasiswa. Akibat langkanya peminat arkeologi, maka hingga akhir 1980 Universitas Indonesia hanya mampu menghasilkan 54 sarjana arkeologi. Berarti selama 40 tahun (1940-1980), rata-rata UI hanya menghasilkan tidak sampai dua orang per tahun.
Setelah di UI, Jurusan Arkeologi dibuka di Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, dan Universitas Hasanuddin. Pada 2014 Universitas Jambi dan Universitas Halu Oleo membuka Jurusan Arkeologi. Kecuali dua PTN yang disebut belakangan, sejak 2000-an setiap PTN yang menyelenggarakan pendidikan arkeologi, menghasilkan sekitar 20 lulusan setahun. Kalau disamaratakan, setahun kita memiliki sekitar 80 sarjana arkeologi baru.
Namun ironisnya, daya tampung buat mereka begitu terbatas. Ini terlihat dari lowongan kerja di instansi-instansi pemerintah yang tidak dibuka setiap tahun. Maka para lulusan pun lari ke bidang-bidang lain yang tidak ada hubungannya dengan arkeologi, seperti bank, wiraswasta, guru TK, bahkan pengobatan. Kalaupun berhubungan dengan arkeologi, mereka termasuk arkeolog swasta yang menangani pekerjaan seperti EO (Event Organizer). Umumnya mereka melakukan pekerjaan secara temporer, antara lain penyelenggaraan pameran dan penulisan buku. Ada juga yang menjadi Tenaga Ahli untuk kegiatan tender/lelang.
Saya ingat pada 1980-an Uka Tjandrasasmita, yang ketika itu menjabat pimpinan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, mengatakan, “Lulusan arkeologi jangan takut tidak mendapatkan pekerjaan. Lahan kita luas, ada 27 provinsi”. Saya melihat sebenarnya kita bukan kekurangan tenaga arkeolog, sebagaimana pernah menjadi headline surat-surat kabar. Hanya banyak lulusan arkeologi tidak tertampung di instansi-instansi pemerintah. Umumnya lulusan arkeologi bekerja di instansi pemerintah.