Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kejahatan Santet dalam Hukum Pidana Zaman Kerajaan

30 Mei 2017   04:54 Diperbarui: 30 Mei 2017   20:18 3472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Boneka santet di Museum Kesehatan Adhyatma, Surabaya (Foto: tribunnews.com)

Pasal mengenai santet pernah dibicarakan dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) oleh DPR beberapa waktu lalu. Bahkan beberapa anggota DPR sempat melakukan studi banding ke mancanegara. Hal ini tentu saja mengundang pro dan kontra berbagai kalangan.

Pasal 293 RUU KUHP mengatakan, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya bisa menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".

Pasal tersebut dianggap tidak adil karena hanya menjerat orang yang disuruh melakukan perbuatan santet. Sedangkan si penyuruh yang seharusnya mendapat hukuman lebih berat, justru lolos dari jeratan hukum.

Perbuatan Negatif

Santet dikenal juga dengan nama tenung dan teluh. Sejak lama santet diasosiasikan dengan ilmu yang bersifat negatif atau merugikan orang lain. Konon, santet dilakukan dengan cara memasukkan benda atau sesuatu ke tubuh orang lain dengan tujuan menyakiti. Benda itu dikirim secara gaib oleh seseorang yang dianggap ahli. Dipercaya orang melakukan santet karena dendam terhadap seseorang atau berniat menyingkirkan seseorang.

Selain ilmu hitam (untuk kejahatan), santet bisa merupakan ilmu putih (untuk kebaikan). Namun dalam kehidupan sehari-hari, santet sering diselewengkan untuk berbuat kejahatan. Misalnya, yang tadinya digunakan untuk menidurkan bayi yang rewel, dimanfaatkan untuk menidurkan calon korbannya. Karena itu santet dianggap lebih banyak negatifnya daripada positifnya.  

Secara samar-samar santet sudah dikenal pada zaman dulu, yakni masa Kerajaan Sriwijaya. Beberapa prasasti diketahui berisi sumpah dan kutukan (sapatha) terhadap orang-orang yang tidak berbakti kepada raja.  Prasasti Kota Kapur (686 Masehi), contohnya, menyebutkan   "...sebanyaknya orang yang berbuat jahat seperti menghilangkan orang, membuat orang jadi sakit, membuat orang jadi gila, mengguna-guna orang, memantra-mantrai orang,...dan sebagainya..., orang yang berlaku demikian akan dibunuh oleh sumpah...". Menurut Hukum Pidana Kerajaan Sriwijaya, orang yang melakukan kejahatan santet langsung dibunuh.

Dalam prasasti-prasasti Sriwijaya, siapa pun orang yang berbuat jahat akan termakan sumpah. Makanya, pada Prasasti Telaga Batu (angka tahunnya belum diketahui) ada cerat seperti “yoni” yang fungsinya untuk mengalirkan air.  Pada waktu "upacara persumpahan" dimulai, tampaknya prasasti tersebut disiram dari atas sehingga air mengalir ke bawah membasahi tulisan dan melarutkan kalimat-kalimat sumpah. Di bagian bawah, air-air itu ditampung oleh orang-orang yang menghadiri upacara, kemudian diminum. Di dalam prasasti itu sendiri memang ada ungkapan (terjemahan), "....kamu akan dibunuh oleh sumpah ini yang diminum olehmu....

Sayang belum ditemukan bukti adanya orang-orang yang mati karena melanggar sumpah.  Hanya penafsiran mengatakan bahwa Raja Sriwijaya adalah seorang politikus ulung untuk meminimalisasi timbulnya pemberontakan.

Kerajaan Majapahit

Di Kerajaan Majapahit menenung merupakan salah satu bentuk kejahatan yang disebut tatayi. Dikatakan, menenung sesama manusia akan dikenakan pidana mati. Tidak ada orang yang terkecuali dari undang-undang tatayi ini. Menjatuhkan pidana mati kepada orang yang melakukan tatayi adalah darma yang tak boleh dihindarkan oleh seorang raja. Jika kesalahannya terbukti, harus dijatuhi pidana mati tanpa proses apapun (Perundang-undangan Madjapahit, 1967, hal 75-76).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun