Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merekonstruksi Kuliner Kuno Nusantara dari Era Ratusan Tahun Lalu

30 Oktober 2022   07:34 Diperbarui: 30 Oktober 2022   08:41 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pakar gastronomi merekonstruksi kuliner kuno berdasarkan bacaan dari prasasti dan relief candi (Sumber: FB Minta Harsana)

Istilah 'prasasti' pasti belum populer di kalangan masyarakat awam. Boleh dibilang prasasti adalah batu bertulis, artinya tulisan yang dipahat pada batu besar. Meskipun demikian ada prasasti yang dipahat pada logam. Yang jelas, prasasti dipahat pada bahan-bahan keras.

Karena keras, prasasti yang dipahat ratusan tahun yang lalu, bahkan lebih dari seribu tahun lalu, mampu bertahan hingga sekarang. Memang ada prasasti yang aksaranya sudah aus atau rusak sehingga sulit dibaca secara utuh. Yang miris, banyak prasasti tinggal sepotong karena potongan lain raib entah ke mana.

Prasasti ditulis dalam aksara dan bahasa kuno. Karena itu tidak banyak orang mampu membaca prasasti. Masyarakat masa sekarang yang mampu membaca prasasti dikenal sebagai epigraf. Selain alihaksara, prasasti harus melalui alihbahasa dan penafsiran. Barulah kemudian menjadi bahan untuk penulisan sejarah kuno Nusantara. Menurut hasil kajian para epigraf, ada berbagai macam isi prasasti, antara lain persoalan hukum, pajak, banjir, sampai kepada kuliner.

Daging bakar sesuai data prasasti (Sumber: FB Minta Harsana)
Daging bakar sesuai data prasasti (Sumber: FB Minta Harsana)

Kuliner

Sabtu, 29 Oktober 2022 Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur menyelenggarakan workshop "Kuliner Tradisional: Mencari Jejak Kuliner Masa Silam" dengan narasumber Pak Minta Harsana (pakar gastronomi) dan Rakai Hino Galeswangi (pakar epigrafi).

Gastronomi memang berhubungan dengan epigrafi atau prasasti. Gastro sendiri dalam bahasa Yunani berarti 'perut', sedangkan nomos berarti 'hukum'.   Gastronomi menjadi pengetahuan yang mencari seluk beluk suatu makanan atau sejarah kuliner. 

Barrett Jones dalam bukunya Early Tenth Century Java From the Inscriptions (Foris Publications, 1984) mengungkapkan berbagai jenis makanan dan minuman berdasarkan prasasti-prasasti di Jawa dari periode abad ke-9 dan ke-10. Namun prasasti tidak menyebutkan bagaimana mengolah makanan atau minuman tersebut.

Kemungkinan besar, kuliner tersebut diolah dari bahan-bahan yang ada di sekitar atau lingkungan sebuah kerajaan, seperti Mataram Kuno dan Majapahit. Uniknya, ada makanan yang hanya boleh disantap raja. Nah ini kuliner eksklusif. Ada juga kuliner untuk rakyat jelata.

Selain prasasti, ada lagi sumber untuk mengetahui kuliner masa silam. Relief candi menjadi sumber data arkeologi lain. Banyak jenis tumbuhan, hewan, dan kuliner terpahat pada beberapa candi. Namun sekali lagi, tidak ada narasi bagaimana cara mengolah kuliner tersebut.

Makanan mewah pada masa itu (Sumber: interaktif.kompas.id)
Makanan mewah pada masa itu (Sumber: interaktif.kompas.id)

Sima

Sebagian besar isi prasasti berkenaan dengan upacara penetapan sima. Menurut arkeolog Timbul Haryono, sima adalah sebidang tanah sawah atau kebun yang telah diubah statusnya menjadi wilayah perdikan atau swatantra sehingga para petugas pemungut 'pajak' tidak boleh melakukan kegiatannya di wilayah tersebut. 

"Semula penduduk bertanggung jawab kepada raja atau rakai. Setelah tanahnya ditetapkan sebagai sima, mereka bertanggung jawab kepada kepala sima," demikian Pak Timbul. Sima berasal dari kata siman (bahasa Sansekerta), berarti batas atau tapal batas.

Salah satu rangkaian acara dalam upacara penetapan sima adalah pesta makan dan minum. Makanan yang disajikan tergolong sebagai mahamangsa atau rajamangsa (makanan para raja). Upacara penetapan sima dianggap istimewa karena hanya dalam kesempatan itulah seorang rakyat biasa dapat menikmati kuliner yang biasanya hanya disantap para raja.

Tahun lalu kekayaan kuliner para raja coba direkonstruksi oleh Indonesian Gastronomy Community (IGC) melalui program bertajuk "Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara". Dalam program itu, IGC menggandeng sejumlah pakar, baik di bidang arkeologi maupun gastronomi, guna meneliti dan merekonstruksi atau meracik kembali makanan para raja Mataram Kuno pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi. Dengan demikian kuliner tersebut bisa dinikmati pada era sekarang.

Pakar epigrafi dari Australia menulis buku tentang epigrafi di Nusantara (Dokpri)
Pakar epigrafi dari Australia menulis buku tentang epigrafi di Nusantara (Dokpri)

Kerbau dan rusa

Pada era Mataram Kuno dikenal Rumbah Hadangan Prana atau glinding daging kerbau.  Rumbah Hadangan Prana disebut dalam sejumlah prasasti, yakni Prasasti Panggumulan, Prasasti Rukam, dan Prasasti Mantyasih. Sesuai namanya, sebagaimana laman interaktif.kompas.id, hidangan tersebut terbuat dari daging kerbau yang dicacah, lalu dibentuk menjadi bulatan-bulatan berukuran sedang.

Bola-bola daging kerbau itu lantas dimasak dengan aneka jenis bumbu, seperti bawang merah, ketumbar, jinten, kencur, santan kelapa, daun salam, sereh, garam, dan belimbing sayur.

Selain daging kerbau, makanan era Mataram Kuno kerap memakai daging rusa.  Salah satunya, Knas Kyasan atau kicik daging rusa, muncul dalam relief Candi Borobudur, Prasasti Mantyasih, dan Prasasti Paradah.

Masih menurut interaktif.kompas.id, Knas Kyasan berupa daging rusa yang dipotong kecil-kecil, lalu dimasak dengan cara seperti memasak makanan kicik daging sapi. Bumbu-bumbu yang digunakan, antara lain bawang putih, ketumbar, gula merah, bawang merah, merica, garam, dan daun pepaya.

Ada lagi Harang-harang Kidang atau rusa bakar. Sajian yang disebut dalam Prasasti Mantyasih, Prasasti Paradah, dan relief Candi Borobudur itu berupa daging rusa yang diiris-iris menjadi bentuk dadu lalu dibakar.

Sajian kuliner berbahan ikan juga dihidangkan,  yakni Klaka Wagalan atau ikan bumbu kuning dengan ikan beong sebagai bahan utama. Ikan beong merupakan salah satu jenis ikan yang muncul dalam relief Candi Borobudur. Dengan demikian, sajian makanan berbahan ikan ini diperkirakan sudah ada pada masa Mataram Kuno.

Informasi tentang makanan dan minuman dari buku karya Barrett Jones (Dokpri)
Informasi tentang makanan dan minuman dari buku karya Barrett Jones (Dokpri)

Menu olahan ikan lain Harang-harang Kyasan atau sidat bakar manis. Hidangan ini diracik berdasarkan informasi di Prasasti Watukura serta relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Dalam menu ini, ikan sidat dimasak dengan cara dipanggang dan diberi bumbu rasa manis. Ikan sidat dipilih karena mudah ditemui di sungai-sungai di sekitar Candi Borobudur.

Menu sayuran yang sudah direkonstruksi berupa Kwelan Haryyas atau sayur batang pisang. Menu ini direkonstruksi berdasarkan informasi di Prasasti Mantyasih, Prasasti Paradah, dan relief Candi Borobudur.

Sumber data arkeologi juga menyebut dwadal (dodol),  twak (tuak), kinca (dari fermentasi sari asam jawa), dan legen (dari sari bunga kelapa).

Betapa kuliner kita amat sangat kaya. Kuliner kuno yang tertulis pada prasasti menunjukkan ratusan tahun lalu Nusantara memiliki kuliner unik dan mantap. Semoga banyak epigraf mampu membaca prasasti sehingga pakar gastronomi mampu merekonstruksi data kuliner itu.***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun