Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Masjid Kudus, Bukti Toleransi Beragama Sejak Sunan Kudus Sampai Sekarang

1 April 2022   10:09 Diperbarui: 3 April 2022   16:40 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Kudus pernah diabadikan pada uang kertas (Dokpri)

Toleransi beragama sebenarnya terjadi sejak lama. Kita bisa saksikan di kompleks Candi Prambanan. Di sana ada dua kelompok candi besar. Kelompok Hindu diwakili Candi Prambanan, lalu kelompok Buddha diwakili Candi Sewu. Ratusan tahun lalu masyarakat Hindu dan Buddha hidup berdampingan dengan rukun.

Pada masa yang lebih muda, kerukunan beragama terlihat pada Masjid Menara Kudus, yang kadang disebut Masjid Kuno Kudus atau Masjid Kudus. Masjid Kudus terletak di Kelurahan Kauman, Kudus (Jawa Tengah). Pada bulan Ramadhan banyak peziarah datang ke sini.

Masjid ini didirikan oleh Sunan Kudus atau Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan pada 956 Hijriah atau 1549 Masehi. Tarikh itu terdapat pada inskripsi batu berbahasa Arab yang terletak di atas mihrab masjid. Inilah data arkeologis pertama.

Prasasti itu antara lain menyebutkan tentang peringatan pendirian Masjid Menara yang diberi nama Masjid Al Aqsha di Kota Al Quds. Kata Al Quds yang berarti suci inilah yang kemungkinan diucapkan menurut lidah Jawa menjadi Kudus.

Menurut laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, data arkeologis lain yang diperkirakan berusia lebih tua dibandingkan Masjid Menara adalah Masjid Langgar Dalem. Berdasarkan sengkalan memet yang dibaca trisula pinulet naga diperkirakan masjid Langgar Dalem didirikan pada 863 H atau 1458 M. Berdasarkan data tersebut disimpulkan bahwa pemukiman bercorak muslim sudah ada sejak abad ke-15 Masehi.

Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam. Beliau tergabung dalam Wali Songo atau Wali Sembilan. 

Candi bentar atau lawang kembar (Sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)
Candi bentar atau lawang kembar (Sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Toleransi beragama

Kompleks Masjid Menara Kudus terdiri atas masjid dan makam. Menurut pengamatan para arkeolog, bentuk menara seperti itu mirip Candi Jago di Jawa Timur. Bahkan ada yang menyebut mirip Bale Kulkul atau bangunan penyimpan kentongan di Bali. Di dalam kompleks ada pintu berbentuk Paduraksa, yakni bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap. Ada lagi Candi Bentar, yakni bangunan berbentuk gapura tanpa atap. Masyarakat sekitar menyebutnya lawang kembar.

Bangunan menara terbagi atas 3 bagian, yakni kaki, badan, dan pucak bangunan. Konsep 3 bagian dikenal pada bangunan Hindu dan Buddha. Banyak antefiks menghiasi bangunan masjid. Antefiks adalah hiasan menyerupai bukit kecil yang hampir selalu terdapat pada candi.

Di kompleks masjid ada delapan pancuran untuk wudhu. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni Delapan Jalan Kebenaran atau Asta Sanghika Marga.

Penetapan sebagai cagar budaya peringkat nasional (Sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)
Penetapan sebagai cagar budaya peringkat nasional (Sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Ini berarti toleransi beragama sudah ada waktu itu. Apalagi banyak keramik Tiongkok menghiasi masjid. Islam, Hindu, Buddha, dan Tiongkok berpadu di sini.

Masjid menara yang ada sekarang ini sebenarnya telah mengalami beberapa kali perubahan, perbaikan, dan perluasan. Meskipun demikian masih terdapat beberapa bagian yang menunjukkan kekunaan.

Yang mendukung adanya toleransi adalah kaki dan badan menara yang dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Selain itu penggunaan material batu bata tanpa perekat semen, seperti halnya pada candi.  

Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu. Demikian menurut Wikipedia.

Dalam berdakwah, Sunan Kudus lebih menekankan pada kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat dan berusaha menyesuaikan diri demi memasuki masa kejayaan Hindu-Buddha. 

Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kudus membaur dan melakukan pendekatan budaya. Ini karena Islam mengajarkan santun dan saling menghormati.

Hiasan pada masjid (Sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)
Hiasan pada masjid (Sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Salah satu nilai toleransi yang diajarkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya adalah melarang menyembelih sapi untuk dikonsumsi.  Soalnya umat Hindu menganggap sapi sebagai binatang suci. Kebiasaan itu berlangsung hingga sekarang di Kudus.

Sebagai buktinya, di Kudus kita jarang menemui soto sapi. Yang banyak adalah soto lembu atau kerbau. Beberapa tahun lalu saya pernah ke Kudus dan mencicipi soto lembu. Mayanlah, gak ada bedanya dengan soto sapi.

Menara Kudus pernah diabadikan pada mata uang kertas. Ini tentu menambah popularitas bangunan tersebut. Pada 2018 peninggalan Sunan Kudus ini ditetapkan menjadi situs cagar budaya peringkat nasional.

Kita perlu meneladani kota Kudus. Selamat menyambut bulan Ramadhan. Semoga tetap terjalin toleransi atau kerukunan antaretnis dan antaragama.***          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun