Tulisan populer bisa dikonsumsi oleh seluruh masyarakat umum karena disampaikan menggunakan bahasa sederhana. Dengan demikian mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, apalagi bila disampaikan secara menarik. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat lebih menyukai buku-buku populer, koran, dan majalah daripada buku-buku ilmiah atau jurnal-jurnal ilmiah.
Sepanjang penerbitan Kompas, saya jarang sekali melihat arkeolog Indonesia menulis di kolom Opini. Kompas merupakan koran bergengsi di Tanah Air. Karena itu penulis Opini Kompas dipandang 'orang hebat'. Maklum cukup sulit menembus Kompas.
Hanya pada rubrik-rubrik lain, seperti Sorotan dan Teropong, saya melihat Bambang Budi Utomo dan Nurhati Rangkuti banyak menulis ilmiah populer. Maklum mereka berstatus peneliti arkeologi. Apa yang mereka sampaikan tentu akan bermanfaat buat masyarakat. Semoga di masa pensiun ini mereka masih memiliki waktu untuk berbagi pengetahuan.
Kecuali Ayatrohaedi, Edi Sedyawati, dan Hariani Santiko, saya belum pernah melihat tulisan para dosen. Entah mengapa dosen-dosen Departemen Arkeologi UI, enggan menulis populer. Begitu juga dosen-dosen di sejumlah PTN yang menyelenggarakan program studi Arkeologi. Di media-media lokal memang saya pernah melihat sejumlah dosen menulis artikel tapi gaungnya kurang terasa dibandingkan koran nasional.
Di blog publik seperti Kompasiana, saya melihat beberapa arkeolog sudah menulis di sana. Menulis di Kompasiana relatif mudah karena tanpa seleksi dan tanpa suntingan. Berbeda dengan menulis di Kompas yang harus antre, diseleksi, dan disunting oleh redaksi. Sejak beberapa waktu lalu Kompas mulai membuat kompas.id. Setiap tulisan yang masuk Kompas cetak, akan ditayangkan oleh kompas.id. Sebaliknya tulisan di kompas.id, belum tentu ada di Kompas cetak. Menulis di Kompas atau kompas.id akan memperoleh honorarium.
Di antara sejumlah arkeolog yang menulis di Kompasiana, yang sering menulis masalah arkeologi dan juga museum, saya dan Mas Wuri Handoko. Meskipun sama-sama lulusan arkeologi, saya dan Mas Wuri ada sedikit perbedaan. Saya tidak pernah bekerja di instansi arkeologi. Praktisi pun bukan, jadi hanya sebatas pengamat atau pemerhati.Â
Saat ini Mas Wuri adalah Kepala Balai Arkeologi Sulawesi Utara. Yah bisa dikatakan birokrat. Di tengah kesibukannya, ia masih sempat berbagi pengetahuan kepada masyarakat. Menulis di Kompasiana tanpa honorarium, bahkan harus membayar Rp25.000 sebulan untuk Kompasiana Premium. Mungkin inilah penyebab banyak arkeolog enggan menulis. Di sini hanya diperlukan idealisme atau kepedulian untuk membumikan arkeologi dan museum.
Coba cari pula 'arkeologi atau museum' pada kompas.id, siapa saja yang pernah menulis kedua masalah itu. Sejumlah arkeolog hanya pernah diwawancara wartawan, bukan sebagai penulis. Sayang memang langkanya penulis dari kalangan arkeologi sendiri.
Sejak 1970-an di dunia Barat berkembang disiplin Arkeologi Publik. Menurut disiplin itu, publik harus terlibat karena masa lalu milik semua orang. Namun bukan berarti setiap orang boleh merusak tinggalan purbakala. Di Indonesia, Arkeologi Publik pun berkembang. Bahkan pada 2010 dikeluarkan Undang-Undang Cagar Budaya yang memuat juga pasal tentang partisipasi masyarakat.