Siapa yang menyangka kalau wabah pandemi Covid akan berlangsung lama. Sejak pertengahan Maret 2020 banyak museum tidak melayani kedatangan pengunjung. Kalaupun ada yang buka, museum dan pengunjung harus mematuhi protokol kesehatan. Meskipun begitu, staf museum tetap beraktivitas secara terbatas.
Dalam keterbatasan inilah dunia digital mengambil peran. Banyak museum telah membuat tur virtual, seminar daring, dan sejumlah kegiatan berbasis internet. Apalagi kini banyak media sosial digandrungi tua dan muda, sebut saja Instagram, Facebook, dan Youtube.
Gawai dan digital ternyata banyak membantu komunikasi. Museum yang tidak bisa membawa diri ke masa milenial, pasti akan tergerus. Banyak inovatif tercipta di masa pandemi ini. Banyak olahan digital mewarnai media-media sosial.
Begitulah terungkap dari seminar daring "Gaung Digital bagi Eksistensi Museum" yang diselenggarakan oleh Museum Bank Indonesia, Jumat, 30 Oktober 2020. Kegiatan dibuka oleh Pak Onny Widjarnako, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia.Â
Sebagai pembicara Ibu Ina Silas (Pengurus ICOM Indonesia, ICOM adalah Dewan Museum Internasional), Pak Dandy Indarto (Kepala Museum Bank Indonesia), dan Mas Hanung Bramantyo (Sutradara Film).
Menurut Ibu Ina tantangan digitalisasi adalah investasi. Buat museum-museum yang dibiayai APBN/APBD memang tidak menjadi masalah. Dana untuk kegiatan luring yang semula dianggarkan bisa dialihkan untuk kegiatan daring atau digital.Â
Sebaiknya museum-museum kecil macam museum swasta dan museum pribadi, paling-paling hanya mampu menyajikan tur virtual lewat Instagram. Lewat medsos ini kita cuma mengeluarkan sedikit dana.
Memang semula ada anggapan kalau masyarakat sudah melihat museum secara virtual, mereka tidak akan berkunjung ke museum lagi. Namun banyak pengelola museum percaya, mengunjungi museum secara langsung dengan melihat benda koleksi tetap menjadi daya tarik. Ada rasa tertentu pada diri mereka. Ada interaksi antara museum dengan pengunjung. "Teknologi bukan menggantikan kunjungan langsung tapi memperkuat secara visual," begitu kata Ibu Ina.
Menurut Pak Dandy, pihaknya telah melakukan inovasi konten media sosial dan aktivasi Museum BI. Selain tur virtual, ada konten Fakta Unik berupa narasi audio yang dibacakan oleh edukator MBI. Ada lagi konten Tik Tok untuk mempromosikan spot Instagramable dan titik layanan MBI. Konten Podcast juga digunakan sebagai media edukasi publik. Ada lagi konten Trivia melalui platform Instagram, dilengkapi dengan pantun dan kuis untuk menjaring milenial.
Mas Hanung memandang sejarah dan museum sangat penting. Beliau beberapa kali shooting film di museum. Ada "sudut pandang" agar generasi milenial tertarik. Mas Hanung memberi contoh Pak Habibie, Presiden ke-3 RI. "Ada yang tidak diketahui masyarakat secara umum, seperti pribadinya. Nah inilah yang dikembangkan," katanya.
Contoh lain soal Kyai A. Dahlan. Kalau dalam keseharian beliau memakai sorban dan baju putih, dalam film beliau memakai jas. "Kita menampilkan visi tapi membungkusnya sedemikian rupa agar menarik anak-anak milenial," kata Mas Hanung.
Mas Hanung juga bercerita bagaimana film Night at the Museum berhasil menjadi box office di AS ketika itu. Akibat terkesan pada film itu, pengunjung museum yang tadinya sepi ramai kembali.
Dunia permuseuman memang banyak berubah. Semoga solidaritas antarmuseum tetap ada sebagaimana tema Hari Museum Indonesia 2020. Terlihat bagaimana museum-museum kecil kekurangan SDM yang mampu membuat konten digital.***