Entah bagaimana jadinya kelestarian kepurbakalaan kalau hanya mengandalkan instansi arkeologi. Bisa jadi perawatan tinggalan-tinggalan arkeologi---tentu saja yang berkategori kecil---akan  terlantar. Lihat saja bagaimana komunitas bahu-membahu mengumpulkan dana untuk memasang cungkup pada Prasasti Besole. Padahal mereka tidaklah berpendidikan arkeologi. Mereka cuma peduli kepurbakalaan.
Sebelumnya prasasti itu terletak di antara rongsokan dan tempat kumuh. Namun dengan upaya komunitas dan izin pemilik lahan, terpasanglah cungkup. Biaya pemasangan paving block dan cungkup cukup besar. Lihat [di sini]
Selesai yang satu, September lalu mereka mulai mengumpulkan dana untuk mempercantik Prasasti Siman. Sedikit demi sedikit donasi mulai berdatangan. Lihat [di sini].
Akhirnya tanpa biaya APBN atau APBD upaya pengerjaan mulai dilakukan. Langkah pertama, memotong dan merakit besi untuk disesuaikan menjadi bentuk cungkup. Diperkirakan butuh waktu 3 hari untuk pengerjaan ini. Kita tunggu perkembangan info dari komunitas.
Pada 1970-an di dunia Barat muncul istilah Arkeologi Publik. Sifatnya menggerakkan masyarakat karena semua tinggalan masa lampau itu milik masyarakat. Namun bukan berarti masyarakat boleh merusak tinggalan purbakala.
Di Indonesia sendiri masyarakat, artinya mereka yang tidak bekerja di instansi arkeologi, sudah lama bergerak membumikan arkeologi. Tentu saja sebisa mungkin dan tanpa dana APBN/APBD. Rata-rata keluar dari kantong pribadi.
Sebaliknya, selain yang beraktivitas positif, sering ditemui masyarakat yang beraktivitas negatif. Mereka sering melakukan penggalian liar untuk mencari 'harta karun'. Bahkan menggunakan alat metal detector. Termasuk juga penyelaman liar di dalam perairan.
Begitulah, menjadi bukti bahwa tinggalan-tinggalan purbakala masih berada di mana saja. Umumnya memang ditemukan secara kebetulan.
Inilah pentingnya memberi informasi dan edukasi kepada masyarakat betapa pentingnya tinggalan purbakala untuk memperoleh informasi kemasalaluan. Bukan karena nilai ekonomis dari benda-benda temuan tersebut.
Instansi arkeologi pasti tidak bisa berbuat banyak. Selalu terlambat menangani temuan-temuan tersebut. Kita harapkan ada komunitas yang akan selalu mengawal masalah kepurbakalaan. Soal komunitas harus menjadi perhatian instansi terkait.
Harus ada gotong royong antara masyarakat dengan instansi arkeologi. Soalnya instansi arkeologi belum tahu di mana masih ada tinggalan arkeologi yang memerlukan perawatan. Sejak lama perawatan dan publikasi populer menjadi kelemahan pihak arkeologi. Ini harus dibenahi.*** Â Â