Lulusan Arkeologi UI, pejuang mandiri, penulis artikel, pegiat komunitas, kolektor (uang dan prangko), dan konsultan tertulis (astrologi dan palmistri). Memiliki beberapa blog pribadi, antara lain https://hurahura.wordpress.com dan https://museumku.wordpress.com
Bisa dipastikan belum banyak orang tahu tentang Hari Purbakala. Penentuan Hari Purbakala didasarkan pada terbentuknya institusi formal yang menangani masalah kepurbakalaan pada masa Hindia-Belanda. Institusi itu bernama Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie yang berdiri pada 14 Juni 1913.
Tahun ini menjadi ulang tahun ke-105, meskipun dalam perjalanannya institusi purbakala terpecah dua. Di bidang penelitian ada Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional yang berubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.Â
Di bidang pelestarian ada Direktorat Sejarah dan Purbakala yang berubah menjadi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Â
Gebyar 105 Tahun Purbakala diselenggarakan pada 21 Juli 2018 lalu di Perpustakaan Nasional, atas kerja sama Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman dengan Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia. Pada kesempatan itu diberikan penghargaan kepada Pak Mundardjito sebagai Tokoh IAAI. Pak Mundardjito pernah menjabat Guru Besar Arkeologi UI. Pada 1976 ikut mendirikan organisasi profesi IAAI.
Penghargaan juga diberikan kepada sepuluh komunitas budaya di seluruh Indonesia. Mereka dipilih oleh masing-masing Komda IAAI. Karena di Indonesia ada sepuluh Komda, maka terpilih sepuluh komunitas budaya. Mereka adalah:
Penghargaan lain untuk pemenang logo HUT ke-105 Purbakala diberikan kepada Garbi Cipta Perdana. Ia mahasiswa Jurusan Arkeologi UI.
Presiden Joko Widodo ikut memberikan pesan moral tentang kelestarian peninggalan masa lampau. Videonya dapat di lihat di sini
Usaha pelestarian cagar budaya membutuhkan kerja sama antara pemerintah, ahli arkeologi, pelestari cagar budaya, dan seluruh masyarakat. Begitu kata Presiden Jokowi.
Masyarakat sudah berperan sebagaimana tergambar dari penghargaan di atas. Sayang di saat Arkeologi Publik terus berkembang, banyak kalangan arkeologi belum mampu menulis secara populer di media-media cetak dan daring.Â