Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Tragis Museum Bahari

16 Januari 2018   18:24 Diperbarui: 17 Januari 2018   07:46 1457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upaya pemadaman kebakaran di Museum Bahari (Foto: Kartum Setiawan)

Dalam perjalanannya pun Museum Bahari memiliki banyak duka. Selain anggaran yang tergolong kecil, alam membuat kondisi bangunan semakin memprihatinkan. Oleh karena terletak dekat laut, tentu saja air laut makin merembes. Dihitung-hitung dalam setahun pondasi gedung amblas sekian milimeter.

Cobalah masuk melalui pintu melengkung. Pasti tangan kita mudah menggapai bagian atas. Dulu tingginya mencapai dua meter lebih. Entah sampai sekarang sudah berapa sentimeter amblas. Yang jelas, untuk memperkuat konstruksi pondasi memerlukan dana besar.

Bukan cuma dari alam,  dari manusia pun kondisi Museum Bahari mengkhawatirkan. Yang paling rawan adalah kondisi Menara yang terletak persis di pinggir jalan. Setiap hari mobil-mobil kontener yang berukuran besar melewati jalan di depan Menara. Akibat getaran, kondisi bangunan cagar budaya itu semakin miring. Padahal pada masanya, titik nol Jakarta berada di situ.

Dulu gerbang ini tinggi, tapi setiap tahun amblas sekian milimeter (Foto: Kartum Setiawan)
Dulu gerbang ini tinggi, tapi setiap tahun amblas sekian milimeter (Foto: Kartum Setiawan)
Peduli

Siapa pun pemilik museum---pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota, Polri, TNI, BUMN, swasta, atau lainnya---harus peduli keselamatan museum.  Harus ada alat-alat pengamanan, termasuk CCTV. Untuk jumlahnya, tentu saja tergantung kantong masing-masing museum. Yang penting harus ada skala prioritas. Utamakan terlebih dulu ruangan-ruangan yang memiliki koleksi.

Saya yakin pemerintah provinsi DKI Jakarta sangat menyesal. Soalnya selama ini anggaran untuk museum relatif kecil. Akibatnya banyak koleksi yang tidak mungkin dicipta ulang itu, kini telah jadi abu. Padahal manfaat museum sangat besar, yakni untuk edukasi, rekreasi, dan lainnya.


Kepala museum saya yakin paham betul akan masing-masing museumnya. Soalnya kemajuan museum, tergantung keprofesionalan kepala museum. Yang kurang paham adalah atasan kepala museum, seperti kepala dinas, gubernur, bahkan menteri. Apalagi kini santer dibicarakan kalau kepala museum di beberapa provinsi akan turun eselon.

Kalau kita punya gubernur atau menteri yang tidak paham museum, bagaimana jadinya masyarakat, terlebih generasi muda kita. Bukankah museum merupakan lembaga pendidikan yang bertugas memperbaiki karakter bangsa. Lewat museum yang baik, kita akan memperoleh devisa dari wisatawan mancanegara.  Kita harapkan Gubernur dan Menteri akan melek museum.

Ketika beberapa museum kecolongan koleksi, kita selalu bilang akan menjadi pelajaran berharga. Namun sampai kini banyak museum masih belum punya CCTV. Dalam tiga bulan terakhir---November 2017 Museum Karst di Wonogiri, Jawa Tengah, kena banjir bandang dan 16 Januari 2018 ini Museum Bahari terbakar---kita mengalami hari keprihatinan museum. Semoga semua museum akan memperoleh perhatian lebih dari pemerintah daerah masing-masing, termasuk induk museum-museum swasta/pribadi.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun