Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengembalikan Ciliwung sebagai Sungai Terbersih di Dunia sebagaimana Tercatat dalam Sejarah

11 Mei 2017   18:40 Diperbarui: 13 Mei 2017   12:34 3662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan oranye sedang membersihkan Ciliwung (Foto: Dinas Kebersihan DKI Jakarta)

Diperkirakan Ciliwung mulai tercemar pada 1699 ketika Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsi gunung itu berdampak besar sekali, antara lain menyebabkan iklim di Batavia menjadi buruk. Selain itu kabut menggelantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan. Batavia pun selanjutnya berganti julukan menjadi “Kuburan dari Timur”, bukan lagi “Ratu dari Timur”.

Pasukan oranye sedang membersihkan Ciliwung (Foto: Dinas Kebersihan DKI Jakarta)
Pasukan oranye sedang membersihkan Ciliwung (Foto: Dinas Kebersihan DKI Jakarta)
Sejak itu Ciliwung mulai kotor. Masyarakat memandangnya sebagai bencana ekologi. Banyak pihak kemudian saling tuding terhadap bencana ekologi tersebut. Mereka bukannya memasalahkan kebijakan Kompeni atau VOC sendiri, tetapi justru cenderung menuding para pendahulunya. Mereka dinilai salah karena telah membangun kota dengan menyontoh kota gaya Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis. Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat musim,” begitu kata para penentang.

Sebagian lagi menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya, banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sebagai kota dagang, tentu Batavia mempunyai magnet kuat.

Untuk menanggulangi bencana ekologi itu, pemerintah berharap banyak dengan cara membudidayakan tanaman tebu di hutan-hutan yang baru dibuka. Ternyata perhitungan itu meleset. Budi daya tebu malah mencemari air dan menanduskan tanah. Apalagi berbagai pabrik gula sangat membutuhkan kayu bakar yang demikian banyak jumlahnya. Karena terletak di dekat sungai, maka pabrik-pabrik gula itu tentu saja ikut menyokong pencemaran air bersih di Batavia, sekaligus mengurangi daerah resapan air.

Dalam penelitian tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Akibatnya sebagai daerah yang terletak di tepi laut,  Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” dari Cirebon bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya.

Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Diberitakan, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Beberapa tahun kemudian  penduduk kota meningkat menjadi 500.000 orang.

Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon,danrawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka.  Begitu pula adanya wilayah yang berawalan kampung.

Dulu istilah kampung mengacu pada sederetan daerah permukiman orang-orang pribumi yang terletak jauh di luar jalan-jalan aspal. Karena sanitasi di kampung tidak bagus, maka banyak warga membuang hajat dan sampah sembarangan di parit atau got. Dalam musim hujan banyak kampung kebanjiran, meskipun air banjir itu tidak dalam dan kotor. Baru kemudian ketika jumlah penduduk semakin meningkat, air kali sekaligus air banjir menjadi sangat kotor.

Ciliwung semakin bersih (Foto: Dinas Kebersihan DKI Jakarta)
Ciliwung semakin bersih (Foto: Dinas Kebersihan DKI Jakarta)
Karena kepadatan penduduk dan makin minimnya daerah resapan, banjir besar mulai melanda Jakarta pada 1932. Banjir itu merupakan siklus 25 tahunan, penyebabnya waktu itu adalah turun hujan sepanjang malam pada 9 Januari. Hampir seluruh kota tergenang. Di Jalan Sabang, sebagai daerah yang nomor satu paling parah, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Banyak warga tidak bisa keluar rumah, kecuali mereka yang beruntung memiliki perahu (Jakarta Tempo Doeloe, 1989).

Mudah-mudahan julukan Ciliwung sebagai sungai terkotor di dunia tidak bertahan lama. Ciliwung kembali bersih seperti yang diutarakan pelaut-pelaut Eropa pada abad belasan. Bukankah sungai yang bersih seperti di Eropa akan mampu menjaring banyak wisatawan? Bahkan bisa dijadikan jalur transportasi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta?

Sejak dua tahun lalu pasukan oranye yang dibentuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok giat membersihkan Ciliwung. Sungainya semakin jernih dan lingkungannya pun tidak kumuh lagi. Semoga sedikit demi sedikit Ciliwung menjadi kebanggaan Jakarta, bahkan Indonesia. Kita perlu mengembalikan Ciliwung menjadi sungai terbersih di dunia sebagaimana yang tercatat dalam sejarah.***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun