Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ajaran Moral dari Masa Silam

8 Februari 2017   05:47 Diperbarui: 6 Juni 2022   21:46 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief kura-kura terbang pada Candi Mendut|Foto-foto: Brosur Direktorat Peninggalan Purbakala, 2010.

Mendengar percakapan kedua anjing itu, marahlah si kura-kura. Mulutnya mulai berdenyut-denyut. Karena gusarnya dia tidak ingat lagi pesan angsa sahabatnya. Dia ingin sekali menjawab ejekan itu. Maka dibukalah mulutnya untuk berbicara. Akibatnya tubuh gemuk si kura-kura melayang jatuh berdebam di atas tanah. Kedua anjing itu segera melompat memburu si kura-kura. Keduanya makan besar menikmati daging kura-kura.

Kesimpulan kisah ini dalam kitab Tantri Kamandaka adalah demikian,  "Jika tidak memperhatikan nasihat dari kawan baik dan tidak memahami maksud yang tersirat, hal itu akan membuat celaka. Perlu pula diingat jangan cepat-cepat menerima kata-kata orang begitu saja untuk ditanggapi."

Tak Tahu Membalas Budi

Cerita fabel juga terdapat pada Candi Panataran di Jawa Timur. Berbeda dengan Candi Mendut, Candi Panataran bersifat Hindu.  Berbagai ajaran budi pekerti yang mengandung pembelajaran diselipkan oleh nenek moyang kita di sini, di antara relief-relief cerita lain seperti Ramayana dan Kresnayana.  Misalnya saja cerita tentang buaya yang tak tahu membalas budi.

Relief buaya dan kerbau pada Candi Panataran|Foto-foto: Brosur Direktorat Peninggalan Purbakala, 2010.
Relief buaya dan kerbau pada Candi Panataran|Foto-foto: Brosur Direktorat Peninggalan Purbakala, 2010.
Dikisahkan, seekor buaya tiba-tiba tertimpa sebatang pohon. Beruntung, dia jatuh ke tempat yang berlubang  sehingga mampu menyelamatkan diri. Ketika seekor lembu melintas di depannya, buaya meminta pertolongan. Sang lembu yang baik hati itu pun berhasil menyingkirkan pohon yang tumbang.

Sang buaya yang sudah terbebas kemudian meminta pertolongan lagi agar sang lembu bersedia mengantarkannya ke sungai. Setibanya di sungai, sang buaya bukannya berterima kasih malah menggigit sang lembu. Terjadilah perkelahian seru. Namun karena sang buaya terkenal dengan julukan ’raja air’, maka sang lembu pun terdesak.

Sekonyong-konyong datanglah sang kancil bertindak sebagai wasit perkara. Kancil meminta agar buaya dikembalikan ke tempat kejadian semula sewaktu tertimpa pohon dengan alasan untuk memudahkan penilaian siapa yang benar dan siapa yang salah. Di tempat itu buaya ditinggal sendirian sampai menemui ajal.  Relief ini terdapat pada dinding kolam sisi barat dan bagian belakang arca dwarapala yang terletak di sebelah kanan tangga masuk bagian candi induk sisi utara. Pelajaran yang bisa diambil tentu saja adalah persoalan balas budi dan kebaikan yang dibalas dengan kejahatan.

Sebenarnya di Candi Mendut dan Candi Panataran masih banyak terdapat relief fabel. Belum lagi pada candi-candi lain. Ajaran moral ini telah terpahat selama ratusan tahun di dinding-dinding candi, bahkan ada yang lebih dari seribu tahun. Meskipun begitu, ajaran moral demikian tetap relevan dan abadi sampai kapanpun. Kearifan dari masa lampau ini tentu saja patut menjadi perhatian generasi masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun