Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Banyak Museum Membeli Barang Antik Curian

14 Desember 2016   06:15 Diperbarui: 14 Desember 2016   09:44 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tutup sarkofagus (peti jenazah) kuno yang dikembalikan Israel ke Mesir (Sumber: voaindonesia.com)

Sebuah konferensi internasional untuk membahas perdagangan barang antik curian pernah diselenggarakan di Kairo April 2010. Pada kesempatan itu Mesir memamerkan beberapa barang antik curian yang dikembalikan ke negaranya, di antaranya adalah sarkofagus kayu yang berumur 3.000 tahun. Artefak tersebut merupakan sitaan pejabat pabean AS. Karena masuk secara ilegal maka pemerintah AS mengembalikan artefak tersebut ke Mesir.

Kepala Dewan Tertinggi Arkeologi Mesir, Dr. Zahi Hawass, menjelaskan pentingnya fokus pada museum untuk menghentikan perdagangan ilegal.  “Museum merupakan sumber utama pembeli artefak curian. Jika museum berhenti membeli artefak, pencurian akan berkurang,” katanya.

Perwakilan AS yang bertanggung jawab atas investigasi warisan budaya mengatakan, ada perbaikan dalam kerja sama internasional. “Semakin mudah dari perspektif penegakan hukum karena seperti yang kita lihat di sini, kami bekerja sama dengan baik. Kami telah menemukan dan menentukan cara berkomunikasi, memahami kebutuhan, dan sistem hukum masing-masing dengan lebih baik. Hasilnya membuat kami melakukan pekerjaan internasional lebih baik,” demikian James McAndrew dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS.

Konferensi internasional dua hari itu melibatkan 21 negara. Para peserta terdiri atas negara-negara yang telah menjadi pasar bagi barang antik curian dan negara-negara yang menjadi asal-muasal artefak tersebut, di antaranya Mesir, Suriah, Tiongkok, Peru, dan Italia.

Delegasi Suriah pada forum itu menekankan pentingnya koordinasi antarnegara dalam konferensi. Menurut Ayman Slaiman dari Direktorat Arkeologi dan Museum Suriah,  masalah ini harus dibicarakan di tingkat internasional, dengan perhatian penuh dalam kerangka hukum, politik, dan keamanan. “Kita perlu menjamin objek budaya yang kita miliki merupakan bagian dari sejarah kita dan bangsa kita, sehingga perlu mencari jalan terbaik untuk memilikinya kembali,” katanya.

Salah satu tujuan utama konferensi ini adalah untuk memperluas realisasi konvensi UNESCO, yang saat ini hanya mencakup artefak yang dicuri setelah 1970-an. Persoalan terbesar justru adalah artefak-artefak yang diangkuti sebelum 1970, terlebih semasa penjajahan abad ke-19.


Negara asal

Apapun alasannya, Hawass berkeras hati bahwa pemilik sah artefak-artefak tersebut adalah negara asal. Karena museum-museum di Eropa membutuhkan koleksi, maka pencurian barang antik tidak terelakkan lagi. Bukan hanya benda purbakala dari Mesir, ternyata warisan budaya Indonesia pun yang diketahui berasal dari curian, banyak dipajang di museum-museum Eropa.

Beberapa artefak yang diinginkan Hawass, antara lain batu Rosetta, sebuah lempengan batu yang bertuliskan petunjuk untuk menguraikan tulisan hieroglif Mesir. Batu Rosetta tersebut kini berada di Museum London (British Museum). Batu Rosseta ditemukan pada 1799 oleh pasukan Napoleon yang sedang melakukan operasi penaklukan di Mesir. Dua tahun kemudian, batu ini jatuh ke tangan Inggris.

Sejumlah museum paling terkenal di dunia memang memiliki koleksi benda antik dari Mesir. Kebanyakan di antaranya didapatkan dalam masa penjajahan Inggris.

Dalam beberapa tahun terakhir, otoritas Mesir lantang menyuarakan desakan pengembalian benda-benda antik tersebut. Dampaknya adalah pada 2007, otoritas Perancis mengembalikan rambut Fir’aun. Benda antik tersebut nyaris dijual di internet oleh seorang pekerja pos yang mendapatkan artefak itu dari ayahnya. Sang ayah sendiri memperolehnya dari sebuah penyelidikan ilmiah terhadap mumi kerajaan 30 tahun sebelumnya.

Mesir juga menuntut Berlin untuk mengembalikan patung dada Ratu Nefertiti yang legendaris. Artefak tersebut ditemukan oleh arkeolog Jerman, Ludwig Borchardt, di tepian sungai Nil pada Desember 1912. Selain itu patung dada Ankhaf di Museum of Fine Arts di Boston, AS dan patung Fir’aun Ramses II di Museo Egizio, di Turino, Italia.

Langkah arkeolog Hawass dilakukan sangat serius. Bahkan Hawass berani memutuskan hubungan dengan museum tersohor Perancis, Louvre. Sebelum mendapatkan kembali benda purbakala yang dicuri itu, Mesir akan menolak bekerja sama dengan Museum Louvre.  Artefak curian yang menjadi koleksi museum tersebut berupa bagian dari dinding sebuah makam berusia 3.200 tahun yang berasal dari kota kuil Luxor di Mesir. 

Menurut tudingan Hawass, Museum Louvre membeli barang antik yang bersangkutan, meski para kurator museum mengetahui bahwa barang tersebut adalah barang curian. “Kami membuat keputusan untuk sepenuhnya mengakhiri kerja sama dengan Louvre hingga mereka mengembalikan benda antik tersebut,” kata Hawass akhir Januari 2010 sebagaimana dikutip Radio BBC dan Radio Suara Jerman.

“Pembelian barang-barang curian adalah sebuah pertanda bahwa sejumlah museum tengah bersiap untuk menggalakkan penghancuran dan penjarahan benda-benda antik milik Mesir,” tambah Hawass.

Ketika itu Menteri Kebudayaan Perancis, Frederic Mitterand, mengatakan bahwa benda antik yang dituntut oleh Mesir adalah pecahan-pecahan dekorasi dari sebuah makam di Lembah Raja-raja yang berada di dekat Luxor. Artefak-artefak arkeologi ini didapatkan dengan cara “baik-baik” oleh pihak Louvre pada 2000 dan 2003. Dia menambahkan bahwa artefak-artefak tersebut memang harus dikembalikan kepada negara asal.

“Semua orang berusaha keras dan mengupayakan kemungkinan pengembalian pecahan benda antik tersebut ke Kairo, jika kerangka hukum yang jelas telah ditemukan,” kata seorang sumber Perancis.

Hawass juga pernah memutuskan hubungan dengan museum lain, yakni Museum Seni Saint Louis karena museum tersebut menolak untuk mengembalikan topeng emas dari mumi seorang wanita bangsawan.  

Suara lantang Hawass berhasil menarik perhatian dunia internasional, termasuk UNESCO,  yakni organisasi PBB yang membidangi warisan budaya.  Sejauh ini Mesir sudah berhasil menghimpun kembali sekitar 5.000 artefak yang pernah berada di museum-museum mancanegara.   

Belanda

Seperti halnya Mesir, Pemerintah Indonesia juga terus berupaya melakukan hubungan diplomasi dengan pemerintah Belanda agar benda-benda bersejarah yang menjadi koleksi  museum di sana bisa dikembalikan ke Tanah Air. "Kita berharap museum di Belanda mau mengembalikan warisan-warisan budaya itu," kata Dirjen Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajat, awal April 2010.

Menurut catatan, banyak benda bernilai sejarah yang berasal dari seluruh Nusantara menjadi koleksi museum di Belanda. Benda itu diboyongi ke sana ketika Belanda menjajah  Indonesia selama 3,5 abad.  Mereka memperolehnya dengan cara agresi militer, merampas atau membeli dari  penduduk.   

Berkat Perjanjian Wassenaar memang beberapa artefak berhasil kembali ke Tanah Air pada 1970-an, misalnya arca Prajnaparamita, naskah Nagarakretagama, dan gong Geusan Ulun. Diperkirakan warisan-warisan budaya Indonesia sampai kini masih berada di 30-an negara. Melihat kondisi museum yang masih memrihatinkan, banyak orang berharap warisan-warisan budaya kita tidak perlu diminta dulu. Lebih baik tetap berada di mancanegara karena secara tidak langsung dapat mempromosikan pariwisata Indonesia. Kita pun tidak perlu mengeluarkan anggaran perawatan yang demikian besar, toh di sana sudah terpelihara baik.

“Di sini menangani benda cagar budaya saja masih pusing. Kalau disimpan di museum, bisa dicolong lagi. Lebih baik berada di mancanegara dulu, hitung-hitung bagi kerjaan mengurusi benda cagar budaya kita,” begitu komentar beberapa arkeolog.

Betapapun warisan-warisan budaya ini perlu diketahui anak-cucu kita. Mudah-mudahan jika museum sudah dihargai masyarakat kita, maka warisan-warisan budaya tersebut bisa kembali ke negara asalnya, serupa dengan impian Hawass di Mesir.***

Penulis: Djulianto Susantio (dari berbagai sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun