Rupanya sang admak akmitan berdiri di belakang kasus tersebut. Masalahnya adalah dia mengancam akan mengambil sawah garapan Purusakara untuk diberikan kepada penduduk desa lain karena dia tidak diberikan ‘upeti’. Inilah ‘premanisme’ oleh petugas pajak.
Sebuah prasasti yang bertarikh 1149 M, zaman raja Jaya Sakti, mengungkapkan tentang keberatan Desa Pengupetan membayar segala pembiayaan kepada orang-orang Pancanigayam. Untuk itu mereka memohon kepada raja agar Desa Pengupetan dan Desa Pancanigayam dipisahkan. Hal ini dikabulkan oleh sang raja (Sunarya, 1994:170).
Para pemungut pajak (sang admak akmitan, caksu,dannayaka) dengan jabatannya, rupa-rupanya sering melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat. Karena itu raja tampil sebagai penengah untuk mengantisipasi masalah tersebut, dalam rangka memperhatikan ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat.
Pada masa kini penyelewengan pajak sudah menjadi budaya. Mudah-mudahan kita bisa belajar dari masa lampau sekaligus kasus Gayus. Dengan aparat yang bersih, maka penerimaan pajak akan meningkat. Hal ini demi untuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsa kita sendiri.***
Penulis: Djulianto Susantio