Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

[Hari Uang] Kenali Sejarah Rupiah, Mulai dari Asal Kata 'Duit' Hingga Kemunculan Uang Error

30 Oktober 2016   06:46 Diperbarui: 31 Oktober 2021   06:30 3996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang error, tulisan Bank Indonesia dan Lima Ribu Rupiah tidak sempurna (Dokpri)

Apalah jadinya jika masyarakat mendapatkan uang tidak sempurna seperti dalam gambar? Karena kebanyakan masyarakat masih awam, bisa dipastikan sebagian besar dari kita akan menukarkan atau mengembalikan uang tersebut kepada si pemberi uang. Buat sebagian besar masyarakat, memang uang tidak sempurna seperti itu ibarat 'sampah'. Namun bagi segelintir orang, uang tersebut seperti 'emas'. Meskipun masih beredar di pasaran, harga jual uang 'aneh' seperti itu bisa dua-tiga kali dari harga nominalnya.

Kalangan numismatis atau kolektor uang menyebutnya uang error. Pencetakan uang ini tidak sempurna. Huruf B pada Bank Indonesia dan huruf L pada Lima Ribu Rupiah terpotong karena kesalahan manusia.

Sampai kini sejumlah numismatis berhasil mengidentifikasi beberapa jenis uang error. Umumnya termasuk kategori salah potong atau pemotongan yang tidak sempurna (simetris). Jenis lain yang sesekali dijumpai adalah bagian ujung yang menyembul keluar akibat terlipat ketika dalam posisi pemotongan.

Uang error meskipun masih berfungsi sebagai alat transaksi, menjadi salah satu koleksi yang dicari para numismatis. Tujuannya, untuk memperkaya perbendaharaan koleksi numismatik. Maklum, mata uang tidak diterbitkan setiap tahun sebagaimana filateli. Jadi itulah bentuk kreativitas para numismatis.

Jenis lain yang dicari adalah nomor istimewa, antara lain berurutan (misalnya 123456 atau 987654), nomor sama (misalnya 111111 atau 777777), dan diawali atau diakhiri angka nol (misalnya 000001 atau 500000). Yang juga termasuk nomor istimewa berkenaan dengan peristiwa penting, misalnya 170845 (hari proklamasi kemerdekaan RI) atau 060708 bermakna 6 Juli 2008).

ORI
Uang rupiah yang kita kenal sekarang berawal dari penerbitan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Pada awalnya, meskipun sudah merdeka pada 17 Agustus 1945, kita masih belum memiliki mata uang sendiri. Padahal, mata uang merupakan komponen penting bagi sebuah negara merdeka. Uniknya, pada saat bersamaan beredar tiga jenis mata uang sekaligus di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang Pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang Pendudukan Jepang.

Nomor seri istimewa (Dokpri)
Nomor seri istimewa (Dokpri)
Rencana untuk mencetak mata uang mulai diusahakan pada akhir Oktober 1945. Ketika itu Menteri Keuangan A. A. Maramis menginstruksikan sebuah tim untuk mencari tempat percetakan uang dengan teknologi yang relatif modern. Hasilnya, percetakan G. Kolff di Jakarta dan Nederlands Indische Mataalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Malang dianggap memenuhi persyaratan. Setelah terbentuk Panitia Penyelenggaraan Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia, maka uang ORI pertama rencananya akan dicetak. Namun karena terkendala berbagai hal, terutama blokade penjajah di banyak tempat, upaya pencetakan tidak membuahkan hasil.

Pada 6 Maret 1946 panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah yang dikuasai Sekutu. Mau tidak mau pemerintah RI berupaya untuk menindaklanjuti pengumuman NICA tersebut dengan mengedarkan ORI. Hanya peredaran ORI tersebut membutuhkan dana. Namun akhirnya usaha penerbitan uang berhasil. Pada 30 Oktober 1946 beredar emisi pertama uang kertas ORI. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Keuangan, meskipun pada ORI seri pertama itu tertera tanggal 17 Oktober 1945. Pecahan yang diedarkan bernominal 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, dan 100 rupiah (Banknotes and Coins from Indonesia 1945-1990,1991).

Prasejarah
Dalam bentuknya yang paling primitif, uang sudah diproduksi sejak zaman prasejarah. Pada masa ini masyarakat belum mengenal sumber tertulis, seperti prasasti. Karena itu, meskipun belum mendalam, numismatik sering kali menjadi subdisiplin dari ilmu arkeologi. Nilai uang ditentukan oleh berat dan jenis bahan yang dipakai (intrinsik) atau oleh satuan angka yang tercantum padanya (nominal).

Uang dapat dibedakan dari benda atau artefak lain karena memiliki sejumlah komponen pengenal, yakni angka tahun, nama negara, nama penguasa yang mengeluarkan, lambang atau gambar yang berhubungan dengan negara atau kerajaan, nilai nominal, dan sejumlah ciri fisik untuk menghindari pemalsuan. Uang yang tidak memiliki ciri-ciri seperti itu, terlebih mengandung tulisan, disebut anepigraphic. Banyak uang kuno berciri demikian. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi karena dulu teknologi masih sangat sederhana. Uang pun hanya dibuat dari benda-benda keras dan mudah didapat, seperti batu, kacang-kacangan, manik-manik, dan kaca.

Menurut bahannya, uang dibedakan atas uang batu, uang kertas, dan uang logam. Uang batu jarang ditemukan di Indonesia, tetapi banyak digunakan oleh masyarakat di Kepulauan Pasifik. Bentuknya bulat, berukuran besar, dengan atau tanpa lubang di tengahnya. Uang ini terutama muncul dan digunakan oleh masyarakat berlatar tradisi megalitik. Uang seperti ini sangat unik. Alangkah baiknya kalau museum uang di Indonesia memiliki fotonya. Beruntung kalau memiliki koleksi aslinya.

Uang kertas pada umumnya berbentuk segi empat dan merupakan hasil pencetakan (print). Di antara ketiga jenis uang itu, uang logam paling banyak variasinya. Bahan yang digunakan adalah emas, perak, tembaga, perunggu, kuningan, timah, nikel, atau campuran dari bahan-bahan itu. Penggunaan bahan biasanya tergantung nilai nominal. Uang bernilai kecil tentu saja menggunakan bahan-bahan yang relatif murah, seperti tembaga dan timah. Lain halnya yang bernominal tinggi. Sering kali emas dan perak menjadi pilihan utama.

Uang logam kuno pun dibedakan menurut jenisnya, yakni koin, uang ‘jagung’, uang ‘ma’, ingot, dan bonk. Koin, berbentuk pipih melingkar, segitiga hingga segi delapan. Ada yang mempunyai amulet, lubang bulat atau persegi di tengahnya dan ada pula yang tidak. Nama khusus untuk koin dengan amulet adalah kepeng atau gobog. Koin biasanya dibuat dengan teknik tempa (strike), cetak (cast), tekan (press), atau gabungan ketiganya. Pada koin tercantum nilai nominal, tahun pengeluaran, dan nama atau simbol (negara, raja, atau kerajaan yang mengeluarkannya). Koin yang hanya memiliki satu muka berhias disebut uniface. Tempat atau perusahaan pembuat koin disebut mint, sementara tanda khusus pada koin disebut mint mark.

Koin-koin kuno koleksi Museum Nasional
Koin-koin kuno koleksi Museum Nasional
Uang kuno yang dikenal di Nusantara berasal dari kerajaan-kerajaan besar ketika itu. Misalnya uang ma yang hanya ditemukan di Jawa pada abad ke-7 hingga ke-14 Masehi. Bentuknya membundar mirip koin, cekung, tanpa lubang, dan berukuran relatif kecil. Disebut uang ma karena pada bagian cekungnya terdapat huruf Jawa Kuno berbunyi ma. Nama lain untuk uang ma adalah uang bunga cendana (sandalwood flower coin). Ini karena pada bagian cekungnya tidak tercetak huruf, melainkan bunga berkelopak empat mirip bunga pohon cendana. Uang jenis ini umumnya berasal dari sekitar abad ke-13 Masehi. Kebanyakan uang ma terbuat dari bahan emas atau perak dan tidak mencantumkan nilai nominal. Nama ma disebut dalam sejumlah prasasti.

Nama yang cukup unik adalah uang jagung. Umumnya terbuat dari emas atau perak. Kadang-kadang ditemukan dari bahan perunggu. Disebut uang jagung karena berbentuk mirip bulir jagung, yakni mendekati bundar dengan cekungan rendah pada salah satu sisinya. Di Asia Tenggara jenis uang ini dikenal dengan nama piloncito,berasal dari nama seorang peneliti numismatik Filipina. Seperti uang ma, pada uang jagung tidak tertera nilai nominalnya. Uang ini digunakan pada abad ke-7 hingga ke-17 di Jawa dan Sumatera.

Bonk, berbentuk potongan-potongan logam dalam ukuran dan berat tertentu tanpa keterangan nilai nominal dan tahun pengeluarannya. Tulisan yang ada berupa nama atau simbol yang erat berhubungan dengan negara, raja atau kerajaan yang mengeluarkan. Nilai bonk ditentukan oleh berat dan jenis logam yang digunakan. Semakin berat dan semakin mahal jenis logam, semakin tinggi nilai tukarnya.

Menurut buku Vademekum Benda Cagar Budaya (2009), ingot berbentuk bongkahan. Kondisinya sama dengan bonk kecuali bentuknya yang kadang-kadang tidak sama. Ini karena yang dipentingkan adalah berat dan jenis logamnya.

Asal Kata 'Uang' atau 'Duit'
Kesalahan pemaknaan terjadi pada kata uang dan duit. Kata uang mungkin berasal dari ’wang’, yakni alat pembayaran yang terbuat dari emas. Emas digunakan untuk pembayaran 'barang mahal', seperti kambing. Sementara perak untuk pembayaran 'barang murah', seperti ayam. Untuk barang-barang lebih murah digunakan koin berbahan tembaga, besi, kuningan, dan lainnya.

Dugaan lain kata 'uang' berasal dari kata 'daluwang'. Daluwang adalah kertas yang dibuat dari kulit pohon, umumnya dikenal luas di Jawa Barat. Dulu uang ORI dibuat dari kertas daluwang. Dikabarkan, kata uang berasal dari bahasa Jawa 'wang' atau Bahasa Melayu 'uwang'.

Ada juga yang berpendapat kata 'uang' berasal dari 'wang', nama pecahan zaman dulu. Bahkan 'wang' dianggap nama orang, ahli keuangan Tiongkok, Wang An-shi (1076). Uang emas Tiongkok dari zaman Wang An-shi pernah beredar di Nusantara.

Setelah uang emas dan uang perak menghilang karena diganti uang kertas, kata ’uang’ dan ’duit’ berubah penggunaannya menjadi sebutan untuk semua alat tukar. Bedanya, kata ’uang’ digunakan untuk menyebut alat tukar secara formal, sebaliknya kata ’duit’ hanya digunakan dalam bahasa pergaulan.

Padanan ’uang’ yakni ’duit’ diyakini berasal dari kata doit, yakni sebutan bagi uang receh kuno Eropa dari abad ke-14. Pada awalnya, doit terbuat dari bahan perak dengan nilai tukar setara dengan 1/8 stuiver. Pada abad ke-14 itu 1 gulden = 20 stuiver, jadi 1 gulden = 160 doit.

Ketika itu Doit menjadi satuan mata uang terkecil di Belanda, seperti halnya penny di Inggris. Sejak 1573 doit tidak lagi terbuat dari perak. Karena bahan itu dianggap mahal, bahannya diganti tembaga yang lebih murah.

Doit masuk ke Kepulauan Nusantara sejak 1726. Semula doit harus didatangkan dari Belanda. Tetapi mengingat pengiriman dengan kapal sering mengalami hambatan, misalnya waktu perjalanan lama dan gangguan bencana alam, sementara di pihak lain kebutuhan akan uang kecil terus meningkat, maka pemerintah Belanda mengizinkan VOC untuk menempanya sendiri di Batavia dan Surabaya.

Doit yang dibuat di Nusantara terdiri atas dua jenis. Pertama, berbahan tembaga dengan ciri-ciri berbentuk bundar, berwarna coklat, bertulisan JAVA, dan dilengkapi angka tahun pembuatan. Kedua, berbahan timah dengan ciri-ciri berbentuk bundar, ada inisial LN dan lambang VOC, ada tulisan Arab Melayu duyit, dan dilengkapi angka tahun pembuatan.

Umumnya Doit dikeluarkan untuk gaji pegawai. Ketika itu pegawai VOC lebih banyak menerima gulden karena bergaji tinggi. Sebaliknya para pegawai bumiputera justru bergaji kecil, karena itu jarang menerima gulden. Sekadar gambaran, pada 1888 pendapatan orang Eropa 2.100 gulden per tahun dan orang asing lainnya 250 gulden. Sementara pendapatan bangsa bumiputera hanya 63 gulden atau setara 5,25 gulden per bulan.

Akibat terlalu sering menerima doit atau duyit alias uang recehan, maka istilah itu sangat akrab di telinga mereka. Lama-kelamaan istilah itu berubah menjadi duit, sesuai lidah bangsa Indonesia. Istilah tersebut terus dikenal sampai sekarang, tanpa ada perbedaan nilai besar atau kecil.

Selain emas dan tembaga, di Nusantara juga pernah beredar alat tukar terbuat dari perak. Oleh karena itu, hingga kini kita suka menambahkan kata ’perak’. Perak adalah kata tidak formal untuk menyebut rupiah. Jadi seribu rupiah, misalnya, identik dengan seribu perak.

Di mata arkeolog, uang kuno merupakan temuan paling penting karena mengandung unsur pertanggalan. Dengan demikian bisa untuk menanggali temuan lain yang berada satu konteks dengan temuan uang kuno.

Rupiah
Nama rupiah sendiri mungkin berasal dari nama mata uang India, rupee. Data sejarah menunjukkan hubungan India dengan Indonesia sudah terjalin sejak abad-abad pertama Masehi. Sejarah kuno Indonesia yang bercirikan Hinduisme dan Buddhisme, memang sarat dipengaruhi oleh kebudayaan India itu.

Bisa jadi juga nama rupiah berasal dari bahasa Sansekerta ru-pya yang berarti perak. Yang dimaksud adalah perak yang ditempa atau dicetak. Uang berbahan perak (bersama uang emas) banyak ditemukan dalam berbagai situs arkeologi di Indonesia. Apalagi Sansekerta merupakan bahasa utama yang berasal dari India. Dulu bahasa Sansekerta banyak dipakai untuk menulis prasasti.

Pendapat lain mengatakan, rupiah diambil dari bahasa Mongolia rupia. Seperti halnya bahasa Sansekerta, rupia juga berarti perak. Rupiah merupakan pelafalan asli Indonesia karena adanya penambahan huruf ’h’ di akhir kata rupia tersebut.

Dugaan lain, kata rupiah berasal dari dialek daerah tertentu. Bahkan ada yang menaksir, rupiah berasal dari nama teman perempuan Presiden Soekarno, Roepijah atau Roepiah.

Nama rupiah pertama kali digunakan secara resmi ketika pemerintah Pendudukan Jepang mengeluarkan mata uang rupiah pada 1943. Jadi, sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat penuh, masyarakat sudah mengenal kata rupiah. Ketika itu Dai Nippon Teikoku Seihu mengedarkan lima jenis pecahan, yakni setengah roepiah, satoe roepiah, lima roepiah, sepoeloeh roepiah, dan seratoes roepiah. Sebelumnya, di daerah yang disebut Indonesia sekarang, orang menggunakan mata uang Belanda.

Sebelum zaman Jepang, secara tersamar nama rupiah sudah dikenal. Diperkirakan mulai disebut pada uang setengah sen tahun 1860. Di situ tertulis, “Saporo rong-atus rupiyah” (seperduaratus rupiah). Nilai itu identik dengan setengah sen.

Sebenarnya uang kuno memiliki banyak fungsi. Kita bisa melacak sejarah perekonomian dan sejarah teknologi. Bahkan sejarah seni hingga sejarah kota. Mengingat mata-mata uang yang pernah beredar di Nusantara sejak berabad-abad lampau sangat berlimpah, sebaiknya kita memiliki museum uang yang lengkap, mulai dari alat tukar, uang zaman kerajaan-kerajaan kuno, uang masa penjajahan, uang revolusi fisik masa 1947-1949, hingga uang RI. Selamat ulang tahun Rupiah.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun