Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

[Hari Uang] Kenali Sejarah Rupiah, Mulai dari Asal Kata 'Duit' Hingga Kemunculan Uang Error

30 Oktober 2016   06:46 Diperbarui: 31 Oktober 2021   06:30 3956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang error, tulisan Bank Indonesia dan Lima Ribu Rupiah tidak sempurna (Dokpri)

Ketika itu Doit menjadi satuan mata uang terkecil di Belanda, seperti halnya penny di Inggris. Sejak 1573 doit tidak lagi terbuat dari perak. Karena bahan itu dianggap mahal, bahannya diganti tembaga yang lebih murah.

Doit masuk ke Kepulauan Nusantara sejak 1726. Semula doit harus didatangkan dari Belanda. Tetapi mengingat pengiriman dengan kapal sering mengalami hambatan, misalnya waktu perjalanan lama dan gangguan bencana alam, sementara di pihak lain kebutuhan akan uang kecil terus meningkat, maka pemerintah Belanda mengizinkan VOC untuk menempanya sendiri di Batavia dan Surabaya.

Doit yang dibuat di Nusantara terdiri atas dua jenis. Pertama, berbahan tembaga dengan ciri-ciri berbentuk bundar, berwarna coklat, bertulisan JAVA, dan dilengkapi angka tahun pembuatan. Kedua, berbahan timah dengan ciri-ciri berbentuk bundar, ada inisial LN dan lambang VOC, ada tulisan Arab Melayu duyit, dan dilengkapi angka tahun pembuatan.

Umumnya Doit dikeluarkan untuk gaji pegawai. Ketika itu pegawai VOC lebih banyak menerima gulden karena bergaji tinggi. Sebaliknya para pegawai bumiputera justru bergaji kecil, karena itu jarang menerima gulden. Sekadar gambaran, pada 1888 pendapatan orang Eropa 2.100 gulden per tahun dan orang asing lainnya 250 gulden. Sementara pendapatan bangsa bumiputera hanya 63 gulden atau setara 5,25 gulden per bulan.

Akibat terlalu sering menerima doit atau duyit alias uang recehan, maka istilah itu sangat akrab di telinga mereka. Lama-kelamaan istilah itu berubah menjadi duit, sesuai lidah bangsa Indonesia. Istilah tersebut terus dikenal sampai sekarang, tanpa ada perbedaan nilai besar atau kecil.

Selain emas dan tembaga, di Nusantara juga pernah beredar alat tukar terbuat dari perak. Oleh karena itu, hingga kini kita suka menambahkan kata ’perak’. Perak adalah kata tidak formal untuk menyebut rupiah. Jadi seribu rupiah, misalnya, identik dengan seribu perak.

Di mata arkeolog, uang kuno merupakan temuan paling penting karena mengandung unsur pertanggalan. Dengan demikian bisa untuk menanggali temuan lain yang berada satu konteks dengan temuan uang kuno.

Rupiah
Nama rupiah sendiri mungkin berasal dari nama mata uang India, rupee. Data sejarah menunjukkan hubungan India dengan Indonesia sudah terjalin sejak abad-abad pertama Masehi. Sejarah kuno Indonesia yang bercirikan Hinduisme dan Buddhisme, memang sarat dipengaruhi oleh kebudayaan India itu.

Bisa jadi juga nama rupiah berasal dari bahasa Sansekerta ru-pya yang berarti perak. Yang dimaksud adalah perak yang ditempa atau dicetak. Uang berbahan perak (bersama uang emas) banyak ditemukan dalam berbagai situs arkeologi di Indonesia. Apalagi Sansekerta merupakan bahasa utama yang berasal dari India. Dulu bahasa Sansekerta banyak dipakai untuk menulis prasasti.

Pendapat lain mengatakan, rupiah diambil dari bahasa Mongolia rupia. Seperti halnya bahasa Sansekerta, rupia juga berarti perak. Rupiah merupakan pelafalan asli Indonesia karena adanya penambahan huruf ’h’ di akhir kata rupia tersebut.

Dugaan lain, kata rupiah berasal dari dialek daerah tertentu. Bahkan ada yang menaksir, rupiah berasal dari nama teman perempuan Presiden Soekarno, Roepijah atau Roepiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun