Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prasasti Sangguran di Skotlandia

14 Agustus 2016   14:35 Diperbarui: 21 Agustus 2016   15:08 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Info tentang Prasasti Sangguran sebagaimana tulisan Suwardono dalam https://hurahura.wordpress.com)

Dikabarkan, bagian terakhir Prasasti Sangguran tentang kutukan. Isinya  siapa saja yang mengambil prasasti ini akan mati mengerikan. Jika di hutan akan dimakan harimau dan jika di sungai akan dimakan buaya. Penulis sedang mencari tau isi lengkap prasasti ini. Soalnya, yang biasanya berisi kutukan adalah prasasti-prasasti dari masa Sriwijaya.

Pada sekitar 1813 prasasti ini dibawa ke kediaman Lord Minto. Enam bulan kemudian, Lord Minto meninggal tiba-tiba dalam perjalanan pulang dari Inggris ke Skotlandia. Sayangnya ia tidak sempat melihat Prasasti Sangguran.

Desas-desus lain, salah satu anak Lord Minto tewas dalam sebuah insiden. Bahkan keturunan keluarga Minto tewas dibunuh dalam usia muda. Selepas itu keluarga Minto terus dirundung berbagai masalah.

Nasib kurang baik juga konon dialami Raffles. Setahun sejak Prasasti Sangguran diboyong, istri Raffles meninggal karena penyakit liver. Pada 1816 Raffles dipecat. Selanjutnya pada 1818 anak pertama Raffles meninggal karena sakit, diikuti anak ketiganya pada 1820 serta anak keduanya pada 1822. Raffles sendiri meninggal pada 1826 dan tak pernah jelas di mana makamnya. Menurut "Find a Grave", makam Raffles ada di  halaman gereja St. Mary, Inggris. 

Dana

Jelas kita perlu mendapatkan prasasti tersebut. Namun kita perlu juga belajar dari kekurangan kita sebelum ini. Dulu kita pernah mempunyai “mimpi besar” terhadap arca Prajnaparamita, naskah Nagarakretagama, dan Gong Prabu Geusan Ulun.  Nyatanya setelah sampai di sini, artefak-artefak kuno tersebut kurang perawatan. Ditakutkan, Prasasti Sangguran akan bernasib sama seperti para pendahulunya. Setelah dikembalikan bukannya semakin dilestarikan, malah semakin rusak karena minimnya dana pemeliharaan yang dikeluarkan oleh pemerintah. 


Patut dipertanyakan apakah pemerintah sudah menyiapkan dana untuk menampung kembali benda-benda sejarah dan purbakala kita yang masih banyak berada di mancanegara?  Sekadar gambaran, Prasasti Watukura (bertarikh 902 hingga 1348) sejak lama bermukim di Denmark dan menjadi koleksi keturunan keluarga L. Norgaard. Prasasti Wukayana (tarikhnya tidak ada) saat ini tersimpan di Museum Tropen, Prasasti Sangsang di Koninklijk Instituut voor de Tropen, Prasasti Guntur di Museum Maritim, dan Prasasti Tulangan di Museum voor Volkenkunde, semuanya di Belanda.

Di Prancis ada Prasasti Dhimalasrama, sementara di India ada Prasasti Pucangan (Batu Kalkutta). Kemudian di Thailand ada arca-arca batu yang berasal dari Candi Borobudur dan candi-candi lain di Pulau Jawa. Benda-benda tersebut teridentifikasi sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda kepada Raja Siam ketika berkunjung ke Jawa pada abad ke-19.

Artefak-artefak batu kuno juga pernah diboyongi ke Jepang, sebagai barang jarahan para serdadu untuk dihadiahkan kepada kaisar mereka, Tenno Heika, ketika berulang tahun. Itu baru sebagian kecil dari sekian banyak benda sejarah dan purbakala Indonesia yang “terbang” ke mancanegara karena berbagai sebab, seperti penyelundupan, cenderamata dari pemerintah yang berkuasa, dan untuk diteliti, yang terjadi sejak zaman penjajahan serta “oleh-oleh” wisatawan ketika berkunjung ke sini pasca kemerdekaan.

Pengembalian artefak-artefak kuno milik nenek moyang kita, jelas sangat penting. Terutama untuk menghidupkan kembali pendidikan, penelitian, dan kepariwisataan yang  semakin terpuruk.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun