Mohon tunggu...
djeng sri
djeng sri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - penuliscerita dan freelancer menulis

suka fotografi dan fiksi ;)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Sepasang Sepatu dan Bocah Tua

21 Oktober 2016   10:07 Diperbarui: 21 Oktober 2016   15:53 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[c] bowobagusphotography.blogspot.com

"Dinihari, menjelang adzan subuh, kiranya aku mendengar percakapan dua orang bang, iya, iya, yang kurang lebih isinya tentang ketidakpuasan si A terhadap si B yang katanya lamban, lemot, letoi, tidak seperti orang lain yang dipaparkannya sebagai lebih baik, begitu bang"

"Si A itu siapa sri? Si B itu juga siapa? Lalu kenapa kamu bisa mendengar, bukankah rumahmu di ujung berung? Jangan-jangan kamu tidak pergi bersembahyang subuh, tapi menguping percakapan di rumah-rumah mewah itu?

"Tidakbang, tidak, sungguh, aku pergi ke surau, tapi..."

Sri tidak melanjutkan kalimatnya, sejuk angin pagi memeluk tubuhnya dalam-dalam. Sebatang ponsel jadul dibungkamnya kemudian. Salak sangka sang kakak diputusnya, sebelum banyak celoteh buruk menimbunnya, seperti hari-hari kemarin, dahulu, dan dahulu sekali.

Sebuah buku diambilnya, dengan cermat ditulisnya kejadian janggal yang membuatnya merasa harus mengabarkannya kepada sang kakak, meskipun akhirnya harus bertepuk sebelah tangan, namun....

"Aku letih, bosan, bagaimana kau bisa mengatakan besok, lusa, lusa lagi bocahtua?"

"Tapi, inilah yang sejatinya terjadi Tu. Sudah kutanyakan pada beliau, sang empu dan jawabannya masih sama, belum jadi, masih menunggu bahan baku, dan seterusnya,dan seterusnya Tu"

"Trus aku harus bagaimana bocah tua? Membiarkan salah satu dari diriku tidak mendapatkan bagian dari dirimu? Huh! Lihat, lihat diluar sana, banyak dari teman-temanku yang sedang lincah menikmati hari-hari dengan berjalan-jalan,utuh! Tidak hanya sebelah saja! Bagaimana dengan dirimu, aku, kita?

Bocah tua hanya diam, malas berbalas muntahan kata. Ia ambil sebuah kain bersih, lalu menyekakaki kanannya yang telah dipotong hingga tinggal menyisakan lutut. Sebatangkaki palsunya yang patah, melongok dari pojok ruangan dengan sedih, seolah ikut merasakan bagaimana sang sepatu telah menorehkan rasa sakit yang luar biasa pada bocah tua hanya karena ia tak mampu meneruskan tugasnya sebagai kaki palsu!

Dan subuh inipun beranjak makin senyap dan senyap, seperti hari-hari kemarin yang jalang, yang memuntahkan kekecewaan sang sepatu kepada bocah tua, yang tidak bisa membawanya berjalan-jalan dengan normal, sepatu seutuhnya, kanan dan kiri, seperti orang-orang normal pada umumnya.

Kringg...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun