Ernest Becker pernah menulis buku yang berjudul The Denial of Death,  sebuah karya bestseller yang kemudian diangkat ke layar lebar oleh Woody  Allen Films, isinya adalah kritik terhadap orang-orang Amerika yg  menyangkal kematian dengan menempuh jalan hedonis sebagai cara untuk  melupakan kematian tersebut. Secara tidak langsung buku itu juga  menyinggung perihal dalam era modern secara luas bagaimana hingar-bingar  kehidupan kerap-kali mematikan daya nalar reflektif manusia yang jauh dari penilaian tentang hakikat kehidupan yang sebenarnya.
Kematian memang mengerikan untuk dibicarakan, sebab efeknya tidak sehat  dan menghambat perkembangan psikologi seseorang, tetapi celakanya  disinggung atau tidak ia tetap datang menemui setiap yang hidup. Begitulah  kematian, ia menjadi momok yg menakutkan, sebab ia tidak hanya  memisahkan tetapi juga ia merenggut semua harapan dan cita-cita yg belum  tercapai dalam kehidupan, rencana, proyeksi dan sebagainya diputus oleh  ajal yang mengerikan. Oleh karenanya wacana tentang kematian dihindari  sejauh mungkin untuk meminimalisir ketakutan-ketakutan yg ada dalam  kehidupan.Â
Kira-kira makhluk apakah kematian itu?, hingga  setiap yang hidup menjadi santapan ganas disepanjang sejarah kehidupan di  muka bumi. Bukankah kematian itu adalah transdimensi atau para mistikus  menyebutnya seleksi tuhan dalam bentuk surprise kepada hamba yg saleh?  Pertanyaan-pertanyaan itu ditemukan dalam banyak perspektif.Â
 Tetapi alasan yang paling dasar dari manusia (khususnya) takut akan  kematian karena ia adalah salah satu di antara makhluk hidup yang betah  (kerasan) di dalam dunia (in-der-welt-sein) dengan berbagai macam  pesona-pesona di dalamnya (being-alongside-things: mitsein/seinbei). Di  dunia inilah manusia (es-weltet) tempat menanam harapan-harapan dan  merancang cita-citanya, memotivasi bagi keberlangsungan eksistensinya,  dengan segala potensi yang dimilikinya sebagai makhluk rasional,  berkesadaran dan lain sebagainya, manusia merasa mempunyai kebebasan dan arena yang begitu luas di dunia ini.
Tetapi ia kerap lupa dengan  keterbatasannya (zeitlichkeit/temporality) bahwa kehidupan hanya tempat  menenggak tuak ditengah-tengah gerombolan para peminum. Padahal  kitab-kitab suci juga sudah mewartakannya jauh sebelumnya, ialah dalam  rangka menarik kesadaran manusia yang paling purna (Dasein) agar  senantiasa terarah kepada kebaikan yang abadi. Dengan demikian  keterbatasannya menyadarkan bahwa keberadaannya akan menuju  peristirahatan yang panjang (sein-zum-tode/being-towards-death) membuka  kemungkinannya menjadi manusia yang selalu otentik. Jalan itulah yang  menentukan hidup manusia ketika mati (hayatun fi mautihi).