Hai Readers! Udah pada tahu belum, kalau di Kraton Yogyakarta pemakaian busana terkhusus motif batik pada jarik tidak boleh sembarang dikenakan? Yukk, kita simak!
Sejak awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta pasca peristiwa Palihan Nagari (1755), Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta secara bertahap telah mengambil langkah untuk memberikan warna pada kebudayaannya masing-masing. 'Andum Waris' ini tidak hanya menyangkut pembagian Pusaka Dalem seperti Bedhaya (tari), Gangsa (perangkat Gamelan), dan Sanjata (Keris, Waos, dll.) saja, namun juga meliputi busana yang termasuk didalamnya kain jarik motif batik! Bahkan, aturan penggunaan kain jarik batik di dalam Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sendiri juga diatur dengan ketat lho!
Motif Batik Awisan (Larangan)
Di dalam Kraton Yogyakarta, penggunaan kain jarik batik tidak hanya sebatas kewajiban berbusana semata, melainkan motif batik pada kain jarik juga menunjukkan kelas sosial penggunanya. Berdasarkan catatan arsip (12 Maret 1798) pada masa Kanjeng Sultan Hamengku Buwana II yang mengatur perihal aturan penggunaan kain di dalam Istana, motif larangan atau awisan batik tidak hanya berlaku dalam penggunaan kain Kampuh saja, tetapi juga diterapkan pada kain penutup kepala atau Udheng. Motif-motif seperti Parang, Sawat, dan Huk yang biasa digunakan dalam busana Raja-Putran (pakaian kerajaan), tidak diperkenankan digunakan oleh abdi Dalem, lebih-lebih masyarakat biasa. Peraturan-peraturan ini kemudian juga ditegaskan kembali pada masa pemerintahan Kanjeng Sultan Hamengku Buwana V, Hamengku Buwana VII, dan Hamengku Buwana VIII. Oleh sebab adanya aturan tersebut, tidak banyak masyarakat diluar benteng Istana yang berani mengenakan kain jarik dengan motif-motif awisan.
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IX, melalui Dhawuh Dalem No. 316 kepada Patih Danureja VIII, disebutkan bahwa yang menjadi motif larangan hanyalah motif Parang Rusak Barong, sehingga motif selain yang disebutkan tersebut boleh dikenakan oleh masyarakat di luar benteng Cepuri, namun pada kenyataannya hingga kini abdi Dalem tetap tidak berani menggunakan apa yang sudah menjadi larangan tersebut, sebab jika tidak, akan ada tindakan tegas dan sanksi yang menanti.
Motif dan Ornamen Batik Awisan
Motif Parang
Motif awisan atau larangan pada kain jarik batik yang pertama dan wajib untuk tidak dilanggar adalah motif Parang dan segala jenis bentuk turunannya. Motif parang sendiri merupakan penggambaran dari senjata. Motif Parang juga menyimbolkan nilai sakral, magis, dan memiliki tingkatan wibawa bagi pemilik atau pemakainya. Di dalam Kraton Yogyakarta, motif turunan Parang seperti Parang Barong (lebih dari 10 cm) hanya dapat dikenakan oleh Sultan yang bertahta saja. Sedangkan motif Parang Rusak (berukuran 9-10 cm) boleh digunakan oleh Sultan dan Permaisuri. Selain itu, motif turunan lainnya seperti Parang Gendreh dan Parang Klithik hanya boleh dikenakan oleh Wayah Dalem (Cucu Raja). Seluruh Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta tidak diperbolehkan menggunakan kain dengan motif parang, kecuali apabila motif tersebut tidak byur (polosan) atau terdapat selingan motif dan ornamen tertentu yang sifatnya tidak tergolong ke dalam motif dan ornamen awisan.
Â