"Wah, saya tidak bisa menulis..."Â Kalimat ini sering kita dengar dari banyak orang, termasuk dari para guru. Padahal, kalau dipikir-pikir, setiap guru adalah gudang cerita, sumber pengalaman, dan penyimpan hikmah yang luar biasa. Sayangnya, banyak cerita itu hilang begitu saja karena tidak pernah dituliskan.
Saya pun dulu pernah ragu. Saat pandemi COVID-19 memaksa kita bekerja dari rumah, saya justru menemukan hikmah besar: belajar kembali menulis. Berawal dari tantangan menulis di komunitas Sagusaku IGI, saya bertanya pada diri sendiri: "Mampukah saya menulis seperti teman-teman lain?"
Awalnya berat, bahkan sempat ketinggalan jauh. Namun dengan tekad dan sedikit nekat, akhirnya saya bisa menuntaskan 30 tulisan sesuai target dalam 30 hari. Hal ini berlangsung dalam 3 bulan, berarti 90 tulisan berhasil ditulis. Dari pengalaman itu, saya belajar satu hal penting: menulis itu bukan tentang siapa yang paling pintar, tetapi siapa yang berani memulai.
 Mengapa Guru Perlu Menulis?
Guru bukan sekadar penyampai materi pelajaran. Guru adalah penyalur cahaya pengetahuan. Dan cahaya itu akan lebih lama bertahan bila dituangkan dalam tulisan.
Bayangkan, jika pengalaman kita dalam mendidik murid, tips mengajar kreatif, atau kisah inspiratif di kelas dituliskan, berapa banyak orang yang akan mendapat manfaatnya?
Para tokoh besar telah meninggalkan jejaknya lewat tulisan:
Ali bin Abi Thalib ra: "Ikatlah ilmu dengan menulis."
Imam Al-Ghazali: "Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis."
Pramoedya Ananta Toer: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah."
Lisan bisa terlupa, tapi tulisan akan abadi.