Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kala Hiperealitas Pindah ke Sepeda

25 Juni 2020   20:22 Diperbarui: 25 Juni 2020   20:26 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersepeda Sehat (Sumber: detik.com)

Dulu sebelum terjadi pandemi, gengsi diukur dari mobil yang digunakan, hape yang dipakai, motor gede yang dipajang, atau seringnya nangkring di kafe-kafe mahal. Para OKB paling senang gonta ganti mobil baru, hape baru, mejeng di kafe termahal pakai jam paling mahal pula. Sementara kelas menengah lainnya cuma bisa ngikutin nangkring sama ganti hape, paling mentok ganti jam.

Dengan gaji pas-pasan, pas butuh pas ada, kelas menengah mulai ambil kredit mobil baru, rumah baru dengan nilai cicilan yang fantastis. Semua demi prestise yang tiada habisnya. Pokoknya selama masih sanggup mencicil, apa saja dibeli, tinggal gesek, selesai urusan. Masalah angsuran tinggal autodebet dari gajinya, sisakan sedikit buat kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah.

Tempat-tempat nangkring mahal mulai berjamur tak lagi didominasi oleh merek tertentu dari luar saja. Harga kopinyapun ikut fantastis menyesuaikan dengan lokasinya yang strategis. Harga dasar kopi paling mahal cuma ceban dibandrol limpul, sisanya buat nombokin sewa tempat, gaji karyawan, bayar franchise, izin, pajak, dan biaya-biaya tak terduga lainnya. Semua menjadi hiperealitas, dimana harga gengsinya jauh lebih tinggi dari harga dasarnya.

Banyak orang terjebak untuk beli merek ketimbang fungsinya. Demi menaikkan gengsi mereka rela untuk menggadaikan gajinya di tempat-tempat bermerek sekedar untuk menghabiskan waktu nongkrong berjam-jam melepas penat pekerjaan yang tiada habisnya sambil selfie dan di-posting di medsos, siapa tahu ada yang like dan komentar. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai hiperealista, para pemuja gengsi untuk menaikkan prestisenya di mata orang lain.

Pandemi datang, semua orang tiarap di rumah. Tak ada lagi gengsi yang bisa ditonjolkan. Boro-boro mau selfie, lha mukanya aja ditutupi masker. Para OKB mungkin masih punya sedikit tabungan untuk tinggal di dalam gua. Nah para kelas menengah inilah yang menumpuk hutang mulai terasa beratnya beban cicilan, apalagi bagi yang terkena PHK tanpa pesangon memadai. Masih ingat cerita di medsos beberapa waktu lalu ketika seseorang dengan gaji 80 juta stress membayangkan tagihan cicilan rumah dan mobil mewahnya karena dirumahkan tanpa gaji?

Entah bagaimana ceritanya sekarang. Namun yang pasti gaya hidup hiperealitas telah membenamkan mereka-mereka yang terlanjur memaksakan hidup di alam khayalnya. Selama tiga bulan terakhir hampir semua kelas menengah ke atas tinggal di dalam gua, takut keluar rumah untuk sekedar belanja atau melihat-lihat keadaan di luar sana. Dunia kembali kepada realita untuk sementara waktu, ozon kembali merapat, udara kembali bersih, airpun kembali jernih.

Ketika PSBB dilonggarkan, mulailah para hiperealista ini bergerak ke luar rumah. Namun karena masih takut-takut, hanya sepedalah sekarang yang menjadi simbol prestise mereka. Berbondong-bondong sepeda mahal sekelas Br*mt*n berkeliaran di jalan raya saat CFD. Selain untuk menjaga kesehatan, sekarang bersepeda juga ikut menaikkan gengsi seseorang sebagai pengganti mobil atau motor. Mereka bisa kembali berselfie ria di atas sepeda mahalnya di bundaran HI tanpa takut lagi tertular virus corona.

Harga sepeda biasapun akhirnya ikut terkerek naik mengikuti demand yang cukup tinggi karena meningkatnya animo masyarakat untuk membawa sepeda ke tempat kerja maupun bermain.Harga sepeda sudah tak lagi wajar tapi mengikuti gaya hidup hiperealitas yang dipertontonkan para kelas menengah ke atas. Sepeda balap biasa yang harganya sekitar 2-3 juta sekarang bisa 5-6 juta bahkan hampir 10 jutaan, sudah mendekati harga motor bekas yang masih segar.

Hiperealitapun berpindah ke sepeda mengikuti gengsi kalangan menengah ke atas yang sudah bosan terkurung di dalam rumah tapi masih takut keliling kota naik mobil. Bersepeda tidak lagi sekedar untuk menjaga kesehatan, tapi sudah menjadi gaya hidup baru menggantikan nangkring di kafe. Sekarang naik sepeda apalagi yang harganya setara motor sport menaikkan gengsi si empunya di depan para kolega dan follower di medsos.

Sayangnya gaya hidup mewah tersebut tidak diimbangi dengan etika. Seperti contoh ketika hendak masuk ke kafe, sepedanya turut dibawa serta ke dalam warung. Sudah jelas warungnya sempit, boro-boro mau jaga jarak, lha wong duduk saja masih dempetan, ini ditambah lagi sepeda yang memaksakan diri masuk. Alasannya sih takut hilang kalau diparkir di luar, padahal sudah ada tukang parkir yang menjaganya.

Aneh memang, kalau takut hilang, kenapa beli sepeda mahal? Kalau takut hilang, kenapa harus mampir di kafe? Toh masih ada kafe-kafe lain yang lebih bergengsi dan menyediakan parkir yang aman, kenapa juga memaksakan diri nangkring di kafe tersebut? Mental sebagian hiperealista tersebut memang belum berubah mengikuti gaya hidupnya. Tampilan boleh mentereng, tapi kelakuan masih kayak orang miskin yang takut kehilangan barang. Kalau orang kaya beneran, hilang satu ya tinggal beli lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun