Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Merayakan Idul Fitri dalam Kesunyian

24 Mei 2020   13:55 Diperbarui: 24 Mei 2020   13:55 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menu Masakan Hari Lebaran (Sumber: dokpri)

Lebaran kali ini memang benar-benar aneh dan sangat-sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Biasanya kami pulang kampung, sholat Ied di lapangan dekat rumah nenek, silaturahmi ke rumah pakde bude, paklik bulik, kakak dan adik, dan diakhiri dengan pertemuan keluarga besar di kampung. Setelah itu acara bebas yang biasanya kami gunakan untuk jalan-jalan sekaligus berwisata menghabiskan waktu libur panjang cuti bersama.

Namun lebaran tahun ini bagaikan bumi dan langit. Mulai dari belanja lebaran, takbiran, sholat Ied, hingga bermaaf-maafan semua dilakukan #dirumahaja. Jujur iri sekali rasanya melihat orang pada cuek berdesak-desakan di pasar, belanja ini itu buat merayakan lebaran. Sepertinya sudah tidak peduli lagi urusan corona. Sementara saya hanya belanja sayur mayur dan daging saja di warung tetangga. Memang harganya jauh lebih mahal daripada di pasar, tapi relatif lebih aman daripada memaksakan diri berdesak-desakan.

Kebetulan sudah beberapa tahun terakhir ini kami tak pernah beli baju lebaran. Biasanya kami beli kain mentah lalu dijahit sendiri sesuai ukuran masing-masing. Untungnya baju lebaran tahun lalu yang dibikin sendiri masih cukup sehingga tak perlu belanja baju lebaran lagi tahun ini. Sebagai gantinya THR anak-anak ditambah untuk ditabung, karena tahun ini juga tidak pergi kemana-mana jadi tidak banyak pengeluaran.

Saat malam takbiran kami teriakkan takbir sendirian di balkon rumah, tidak lagi ikutan pawai keliling kampung walau sebagian warga terutama anak-anak masih ada juga yang melakukannya. Suara takbir terdengar lirih dari pengeras suara masjid, tak lagi lantang seperti dulu. Tak terdengar lagi takbir bersahut-sahutan antar masjid, semuanya di-silent mode dan hanya sayup-sayup saja terdengar lirih. Mungkin tak enak hati bergembira di tengah suasana duka yang berkepanjangan ini.

Biasanya menjelang hari raya Idul Fitri kami bisa tidur lelap sambil menikmati suara takbir yang bertalu-talu. Namun malam itu kami juga harus berburu khutbah yang cocok untuk dibacakan besok saat sholat Ied. Sebenarnya di masjid dekat rumah tetap menyelenggarakan sholat Ied berjamaah dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Namun karena masih punya anak kecil dan kedua orang tua masih hidup, kami harus menjaga mereka yang rentan penularan dengan tidak pergi ke masjid. Akhirnya kami putuskan untuk sholat Ied mandiri di rumah saja mengikuti himbauan pemerintah.

Jadilah saya selaku ayah menjadi imam sekaligus khatib dadakan saat sholat Ied di rumah saja. Sebenarnya agak kikuk juga memberi khotbah di depan keluarga sendiri, karena sudah terbiasa menjadi pendengar setia para pengkhotbah kondang di setiap sholat Ied. Namun karena kondisi apa boleh buat, anggap saja sekalian berlatih menjadi khatib, siapa tahu berguna di kemudian hari. Materi ceramahnya simpel saja, tahun ini adalah cobaan buat umat Islam, dan Alloh menurunkan virus untuk membuat bumi sedikit bernafas dari ketamakan manusia yang rakus mengambil sumberdaya alam di bumi.

Selesai sholat, kami saling bermaaf-maafan seperti biasa karena tinggal serumah, jadi tak perlu khawatir apalagi parno tertular virus. Namun ada yang berbeda tahun ini, tak ada lagi tamu-tamu yang datang, apalagi sanak saudara yang tinggal jauh di luar kota. Padahal kami sudah siapkan kue-kue kering di meja untuk menyambut para tamu agung tersebut. Para tetangga juga tidak tampak batang hidungnya keluar rumah, jalanan tampak sepi nyaris tak terlihat kerumunan orang yang sedang keliling bersilaturahmi saat lebaran. Kami bersyukur masih ada tetangga yang sempat mengirim lontong sayur dan ketupat, lumayanlah buat tambah-tambah lauk.

Selesai makan lontong sayur dan kentang goreng udang, kamipun memulai lebaran online dengan menghubungi saudara-saudara jauh melalui video call. Satu persatu kami kontak dan mengucapkan selamat merayakan hari lebaran, mohon maaf lahir dan batin dari keluarga kami. Namun mendengar kabar mereka sebagian cukup menyedihkan. Ada baru saja di-PHK,ada yang dirumahkan tanpa gaji, ada yang bisnisnya mandeg, ada pula yang sakit tapi tak berani ke rumah sakit karena saking takutnya terpapar. Sedih rasanya mendengar kabar dari sanak saudara yang tertimpa musibah di hari lebaran yang seharusnya ceria ini.

Lebaran tahun ini memang benar-benar berkesan dan tak pernah terbayangkan sebelumnya bakal terjadi seperti ini. Baru kali inilah lebaran Idul Fitri dirayakan dalam kesunyian, tanpa suara takbir yang bertalu-talu, tanpa sholat Ied bersama di lapangan, dan tanpa berkumpul dengan semua anggota keluarga besar, serta kunjungan para tetangga. Wabah corona menabrak semua kaidah agama dan tradisi masyarakat Indonesia yang sudah tertanam puluhan tahun lamanya. Namun kami tak pernah putus harapan agar wabah ini segera berlalu dan kembali hidup seperti sediakala.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun