Satu sekolah geger mendengar kabar jatuhnya seorang siswa akibat memaksakan diri masuk sekolah. Kami berlima dijatuhi sanksi penurunan nilai dan diskors selama dua minggu karena dianggap lalai. Namun bukan itu masalahnya, tapi kawan kami ini masih tergeletak koma di rumah sakit selama tiga hari. Di rumah saya hanya bisa merenung, menyesali kejadian tiga hari lalu, padahal sebentar lagi lebaran tiba.
Saat selesai menunaikan ibadah sholat Ied, tampak bendera kuning berkibar di depan rumah Bucil. "Innalillahi!!" teriakku ketika lewat di depan rumahnya. Antara percaya tidak percaya, saya langsung mampir ke rumahnya, ikut melayat tanpa sempat mampir ke rumah terlebih dahulu. Belakangan menyusul Mamat, Ade, Jon, dan Irul melayat ke rumah Bucil. Berlima kami duduk termenung, berdoa di depan jenazahnya, sambil menyesali apa yang telah kami perbuat. Seandainya, yah, seandainya hari itu kita pulang saja, tak memaksakan diri lompat pagar. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian memang tiada guna.
"Maafkan kami ya Bucil. Gara-gara kami engkau telah tiada. Maafkan kami juga kalau kami selalu kesal dengan tingkahmu yang menyebalkan. Dan kami maafkan segala dosamu yang membuat kami kesal. Sampai berjumpa di sorgaMu ya Alloh. Amiin," ucapku lirih diikuti amiin oleh teman-teman lain.Â
Siang itu juga Bucil dimakamkan dan kami turut mengiringinya hingga ke kuburan. Kamipun urung menikmati ketupat lebaran yang terhidang di rumah masing-masing. Rasa sesal masih terngiang di benakku saat merayakan hari lebaran karena tak sempat saling memaafkan. Semoga Alloh memaafkan kami semua di hari fitri ini.