Hampir separuh orang kaya Indonesia yang masuk 10 besar adalah pengusaha rokok. Ironisnya justru mereka sendiri tidak merokok hasil produksinya sendiri.
Oleh karena itu, niat pemerintah untuk menaikkan cukai sebenarnya (bukan) untuk menghambat peredaran rokok, tapi justru untuk menaikkan pendapatan negara yang mulai loyo akibat hengkangnya sejumlah industri ke negeri tetangga.
Rokok jugalah yang menghasilkan bibit-bibit unggul olahraga seperti bulutangkis dan tenis. Rokok pulalah yang menghidupi event-event olahraga dan musik di tanah air. Mana ada industri lain yang berani keluar uang banyak untuk dibakar selain rokok.
Saya justru khawatir kenaikan cukai yang luar biasa akan memantik demo besar-besaran dari para penghisapnya yang rata-rata berpendapatan pas-pasan. Sudah hidup susah, rokok makin mahal pula. Semboyan yang mereka pegang adalah mangan ora mangan asal ngudud. Jadi udud adalah harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Demo berjilid-jilid bakal kembali terjadi lagi, mungkin lebih dari 7 juta orang mengingat konsumen rokok mencakup hampir separuh penduduk negeri.Â
Bayangkan kalau mereka semua turun ke jalan, bukan cuma pagar tapi gedung DPR pun bisa luluh lantak dihajar pendemo. Lagipula sebagian aparatnya juga perokok sehingga bisa jadi malah berbalik mendukung demonstran.
Pemerintah seharusnya lebih selektif lagi memberlakukan kenaikan cukai rokok. Pilah mana yang berbahaya seperti rokok kertas naikkan setinggi-tingginya, tapi untuk rokok kretek apalagi yang murni tembakau sebaiknya tetap mengingat petani tembakau juga bakal kena getahnya kalau cukai naik terlalu tinggi.
Tidak perlu terlalu paranoid terhadap rokok. Cukup batasi penggunaannya pada ruang privat yang tidak mengganggu kepentingan bersama. Toh tetap ada gunanya sebatang rokok, minimal untuk membantu menciptakan ide-ide baru yang brilian.
Rokok memang dibenci sebagian masyarakat, namun kehadirannya tetap dirindukan oleh sebagian lainnya, bahkan pemerintah sekalipun.