Mohon tunggu...
Shofiyah Az Zahra
Shofiyah Az Zahra Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Tanggal lahir 10-3-2000 Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Omnibus Law, RUU Cilaka atau Celaka?

7 Maret 2020   18:19 Diperbarui: 7 Maret 2020   18:25 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelima, jam kerja yang eksploitatif. 

Keenam, karyawan kotrak akan sulit menjadi pegawai tetap. 

Ketujuh, penggunaan tenaga kerja asing, termasuk, buruh kasar semakin bebas. 

Kedelapan, perusahaan akan mudah melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawa. Terakhir, hilangnya jaminan sosial pada buruh.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut isi omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, khususnya dalam bab ketenagakerjaan jelas-jelas merugikan pekerja. RUU Cipta Kerja disebut merugikan karena secara eksplisit menunjukkan liberalisasi ekonomi sebab adanya deregulasi yang mengurangi hak-hak dasar buruh. (Sumber: 1, 2)  

Dengan banyaknya catatan merah dan penolakan terhadap RUU omnibus law cipta lapangan kerja ini, dapat dipastikan RUU ini tidak berpihak pada rakyat, tidak untuk kepentingan rakyat namun justru merugikan dan menyengsarakan rakyat. 


Melihat beberapa peraturan dalam omnibus law sangat terlihat bahwa ini adalah upaya untuk menguntungkan pengusaha besar, korporasi atau  pemilik modal dalam negeri hingga asing. Kebijakan dalam RUU omnibus law ini membuka pintu lebar-lebar untuk pengusaha asing berinvestasi di Indonesia.

Sebenarnya, peraturan yang tidak memihak kepentingan rakyat tidak terlepas dari kuasa modal dalam politik. Ini merupakan konsekuensi dari sengitnya persaingan dalam dunia bisnis sehingga merembet dalam ranah politik. 

Sehingga, dana korporasi dalam jumlah besar digelontorkan untuk membiayai kebutuhan politisi dan pejabat negara. Tidak heran bila kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan pebisnis. Beberapa bulan lalu, laporan majalah Tempo menyebut 45,5 persen atau 262 anggota DPR terafiliasi dengan ribuan korporasi.

Praktik kapitalisme kroni yang dijalankan antara pemodal dengan pemegang kuasa politik di sektor sumberdaya alam serta proyek berbasis APBN dan APBD membuat dominasi politisi-pebisinis menguat dan secara membabi buta membabat hak-hak rakyat. Para pemilik modal diberikan berbagai keuntungan demi politik oligarkai, yakni agar pemilik modal turut berperan dalam menjaga kelanggengan penguasa.

Sangat miris melihat ambisi kebablasan rezim terhadap investasi yang melanggenkan kapitalis. RUU Omnibus Law cipta lapangan kerja turut memfasilitasi dan melanggengkan ketimpangan hukum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun