Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Jer Basuki Mawa Beya" Jangan Disalahpahami

16 Oktober 2025   09:38 Diperbarui: 16 Oktober 2025   18:41 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Integritas dan ketekunan adalah 'beya' sejati untuk meraih keberhasilan. (Foto: Redicul Pict/Unsplash)

Suatu sore yang hangat di beranda rumah, aku mengeluh kepada Bapak karena nilai ujianku tak sebaik harapan. Beliau hanya tersenyum dan berkata pelan, "Nduk, jer basuki mawa beya."

Aku menatapnya bingung. Beliau mengusap perlahan rambutku, lalu menambahkan.

"Dalam hidup, apa pun yang berharga memang tidak pernah datang dengan mudah. Kalau kamu ingin selamat, bahagia, berhasil—semua itu ada biayanya. Ini bukan cuma soal uang, ya, tapi bisa kesabaran, kadang waktu, bahkan air mata. Nah, saat kamu berusaha meraih keinginanmu, apakah kamu sudah memberi yang terbaik?"

Kalimat itu membuatku terdiam; seolah Bapak sedang bertanya, sudahkah aku benar-benar berjuang sekuat yang kubisa—dan sejak saat itu, ucapannya tertanam di kepalaku.

Kini, setiap kali merasa sedih atas sesuatu, yang terlintas bukan sekadar kalimat bijak itu, tetapi wajah Bapak yang menatapku teduh, seolah berkata: berjuanglah dengan ikhlas, karena tak ada jalan mulia tanpa pengorbanan.

Dari nasihat sederhana itu, aku mulai memahami bahwa pepatah lama sering kali menyimpan kebijaksanaan yang tetap hidup melintasi waktu.

Ya, jer basuki mawa beya adalah sebuah ungkapan dalam budaya Jawa yang sederhana, tetapi kaya pesan. Kalimat singkat sarat makna ini diwariskan turun-temurun sebagai pengingat bahwa keselamatan, kebahagiaan, atau keberhasilan tidak pernah datang begitu saja. Ada jalan yang harus ditempuh, ada usaha yang mesti dikerjakan, ada pengorbanan yang layak dijalani.

Ungkapan ini lahir dari kearifan leluhur yang menempatkan kerja keras dan keikhlasan sebagai dasar kehidupan. Ia bukan sekadar rangkaian kata, melainkan cermin pandangan hidup: bahwa sesuatu yang mulia hanya bisa digapai melalui kesungguhan dan perjuangan.

Jika ditilik lebih dalam, jer basuki mawa beya menyimpan filosofi bijak tentang etos kerja, keikhlasan, dan keteguhan hati. Untuk memahami kedalaman maknanya, mari kita bedah kata demi kata yang membentuk ungkapan ini.

Membedah Makna Tiga Kata Kunci

Ungkapan jer basuki mawa beya terdiri dari tiga kata kunci. jer berarti 'segala sesuatu', basuki berarti 'keselamatan atau kebahagiaan', dan beya berarti 'biaya atau pengorbanan'.

Jadi, secara sederhana pepatah ini bisa dimaknai: untuk meraih keselamatan atau keberhasilan, selalu ada harga yang mesti dibayar.

Namun, "beya" di sini tidak terbatas pada uang. Leluhur Jawa justru menekankan pengorbanan dalam arti luas: waktu, tenaga, pikiran, kesabaran, bahkan ketabahan hati.

Filosofi ini mengajarkan bahwa setiap pencapaian yang bernilai membutuhkan proses, bukan sekadar hasil instan.

Ungkapan ini juga memperlihatkan bagaimana orang Jawa memandang hidup dengan keseimbangan. Mereka menyadari, apa pun yang diinginkan tidak mungkin digapai tanpa upaya.

Ada hukum sebab-akibat yang mesti dijalani: siapa yang bersungguh-sungguh menanam, dialah yang berhak menuai. Prinsip inilah yang membuat ungkapan ini tetap hidup, karena bisa kita temukan dalam banyak cerita nyata di sekitar kita.

Setelah membedah makna dasarnya, penting untuk melihat bagaimana filosofi luhur ini masih relevan dalam hiruk pikuk kehidupan masa kini.

Relevansi "Beya" di Kehidupan Sehari-hari

Nilai Jer Basuki Mawa Beya sesungguhnya masih sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Seorang siswa, misalnya, rela begadang demi belajar. Ia menahan kantuk, mengorbankan waktu bermain, karena tahu ada cita-cita yang ingin diraih lewat beasiswa.

Begitu juga dengan seorang wirausaha, yang berani mengambil risiko. Ia jatuh bangun berkali-kali, kehilangan modal, bahkan dicibir orang sekitar, tetapi tetap teguh melangkah sampai usahanya mulai berdiri kokoh.

Kita juga bisa melihatnya pada seorang petani. Dari pagi hingga sore ia bekerja di sawah, menjaga tanaman, menanti datangnya hujan. Hasil panen yang akhirnya ia dapat bukanlah sesuatu yang instan, melainkan buah dari kesabaran panjang.

Semua itu menunjukkan bahwa "beya" bukanlah sekadar uang. Biaya sejati adalah usaha, keringat, dan ketekunan. Dari sanalah lahir kepuasan batin: keberhasilan yang diraih terasa pantas, karena ada perjalanan yang mendewasakan di baliknya.

Ironi di Balik Jer Basuki Mawa Beya

Namun, sayangnya, tidak semua orang memahami makna "beya" dengan jernih. Di tangan yang salah, ajaran bijak ini justru kehilangan kesuciannya.

Ironis sekaligus menyedihkan, pepatah luhur ini kerap diselewengkan. Jer basuki mawa beya yang seharusnya menjadi penuntun etos kerja justru dipakai sebagai tameng bagi perilaku culas.

Jabatan dibeli dengan uang sogokan, urusan dipercepat dengan amplop, bahkan korupsi pun dibungkus dengan kalimat manis: "memang ada harga yang harus dibayar." Di titik ini, warisan leluhur tidak lagi dijunjung, tetapi justru dicoreng.

Inilah bentuk pengkhianatan terhadap makna aslinya. Beya yang sejatinya adalah pengorbanan yang bermartabat—tenaga yang tercurah, waktu yang terpakai, rasa sabar yang diuji, hingga tekad yang dijaga—dipersempit hanya menjadi angka rupiah.

Sebuah penyempitan makna yang bukan hanya keliru, melainkan juga berbahaya: ia menormalisasi ketidakjujuran dengan jubah kebijaksanaan.

Sesungguhnya, para pendahulu tidak pernah mengajarkan jalan pintas yang kotor. Mereka menekankan bahwa harga yang pantas untuk keberhasilan adalah kesungguhan hati dan ketekunan, bukan uang haram yang melukai integritas.

Dengan menyalahgunakan pepatah ini, kita tidak hanya menipu orang lain, tetapi juga mengkhianati kearifan budaya sendiri.

Menemukan Kembali Kompas Moral

Jer basuki mawa beya menuntun kita untuk menghargai proses, bukan sekadar mengejar hasil.

Ia mengajarkan bahwa kesuksesan—yang benar-benar layak dirayakan—lahir dari kerja keras yang jujur, dari ketekunan yang penuh integritas, dan dari pengorbanan yang dijalani dengan ikhlas.

Kalau kita memaknainya secara utuh, pepatah ini bisa jadi kompas moral di tengah zaman yang serba cepat, sekaligus penawar bagi budaya instan yang sering membuat orang lupa pada nilai proses.

Ia menegaskan bahwa keberhasilan sejati tidak bisa dibeli, melainkan dibangun dengan kesungguhan hati.

Pada akhirnya, jer basuki mawa beya tidak hanya bicara tentang perjuangan lahiriah, tetapi juga tentang kedewasaan batin. Ia mengingatkan kita untuk tetap teguh pada kejujuran, kesabaran, dan integritas—nilai yang membuat setiap keberhasilan terasa bermakna dan berharga.

Ungkapan leluhur Jawa ini tetap relevan di setiap zaman. Mari kembali ke makna sejatinya: bekerja dengan tulus, berkorban dengan ikhlas, dan meraih keberhasilan dengan cara yang bermartabat.

Kebahagiaan sejati bukanlah hasil yang instan, melainkan buah dari perjuangan yang penuh arti. 

Dan ... setiap kali aku teringat wajah Bapak sore itu, nasihatnya kembali menggema: tak ada jalan mulia tanpa pengorbanan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun