Menulis bagiku adalah soal janji—janji pada hati yang mungkin menunggu suaraku. Aku ingin pembaca bisa meresapi setiap ide, pengalaman, atau refleksi yang kutawarkan, dan menemukan sesuatu yang berarti di sana.
Karena niat baik itulah, ada satu kebiasaan yang sulit kutinggalkan setiap kali menulis: mengedit terus-menerus. Bahkan ketika sebuah artikel sudah rampung, sudah masuk draf final, dan siap kuunggah di Kompasiana, jemariku masih gatal untuk memperbaikinya.
Kadang hanya satu kata, kadang sekadar tanda baca, atau bahkan cara menyusun ulang kalimat yang tiba-tiba terasa lebih enak dibaca. Rasanya tidak pernah ada titik benar-benar selesai.
Sisi editor dalam diriku memang kadang begitu rewel dan cerewet. Dia muncul karena ingin memastikan setiap detail rapi, tidak meninggalkan celah, dan tidak mau pembaca tersandung hanya karena satu kata yang keliru.
Si editor ini membuatku berhenti lebih lama di depan layar, menimbang apakah sebuah frasa sudah cukup jelas, apakah ada potensi pembaca salah paham, atau apakah typo kecil bisa mengganggu pemahaman. Meski terkesan sepele, bagiku hal-hal itu penting.
Karena itu, dalam sebulan, aku hampir tidak pernah bisa menayangkan lebih dari satu artikel sehari. Bukan karena kehabisan ide. Justru ide seringkali berdesakan di kepala, minta dikeluarkan.
Namun, prosesnya selalu tersendat di ruang penyuntingan yang tak kunjung usai. Sering aku iri pada mereka yang bisa dengan mudah menulis, klik tombol unggah, lalu selesai. Sedangkan aku, bahkan setelah tombol "tayang" ditekan, masih bisa kembali untuk membaca ulang, mencari celah, lalu mengoreksi.
Di dashboard Kompasiana, aku sering mendapati diriku terjebak membaca preview berulang kali. Selesai satu putaran, kuulang lagi dari awal, berharap menemukan sesuatu yang bisa diperbaiki.
Jari sudah di atas tombol "tayang", tetapi hati masih menahan. Dalam situasi begitu, biasanya aku memilih dua jalan: langsung klik dengan sedikit menutup mata, atau menjadwalkannya agar punya waktu untuk menenangkan diri.
Schedule post menjadi kompromi antara penulis yang ingin melepas dan editor yang ingin menahan. Setidaknya, ada jeda sebelum tulisan benar-benar keluar ke dunia.