Ada satu ironi yang sering menghantui penulis: semakin pandai mengedit, semakin sulit menyelesaikan karya sendiri. Pena yang seharusnya mengalir bebas, justru berhenti karena gunting di tangan kiri tak sabar memangkas.
Alih-alih menari di atas kertas, kata-kata jadi beku, seperti terperangkap antara keinginan untuk menulis dan dorongan untuk menyempurnakan.
Aku pun mengalaminya. Novel yang sudah lama kupeluk dalam kepala, tak kunjung berwujud karena langkahku selalu terhenti di tengah.Â
Bukan karena ide kering, bukan pula karena malas menulis. Namun, karena ada "editor" yang terlalu cerewet dalam diriku, yang tak pernah rela melihat satu kalimat meluncur tanpa perbaikan.
Sebagai editor, aku terbiasa mencari kesempurnaan. Satu kata terasa janggal, aku berhenti. Satu kalimat terdengar kurang pas, aku ulang. Satu paragraf terasa hambar, aku rombak.
Lalu, alur cerita yang seharusnya berlari, malah terputus-putus. Ide yang semula gemerlap, redup sebelum sempat dinyalakan. Rasanya seperti menanam benih, lalu mencabutnya berulang kali untuk memastikan akarnya sehat.
Lama-kelamaan aku sadar, ada harga yang harus dibayar ketika editor terlalu cepat mengambil alih. Novel yang semestinya selesai dalam beberapa bulan, malah mandek bertahun-tahun.
Setiap kali membuka kembali draft lama, aku seperti terjebak di labirin yang sama: melangkah dua baris, lalu kembali lagi untuk membetulkan.
Ada rasa frustasi yang menggerogoti, seakan aku pandai menolong tulisan orang lain, tetapi gagal menolong diriku sendiri.
Tokoh yang kuciptakan, Juwita, entah sudah berapa kali nasibnya naik-turun. Outline yang semula kupikir matang, tiba-tiba berubah karena aku tergoda menambahkan plot twist baru.