Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Demi Keluarga, Hengkang dari Perbankan Menjadi Penulis

26 September 2025   08:15 Diperbarui: 27 September 2025   15:00 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebahagiaan ganda! Menemukan passion menulis yang juga menginspirasi anak. (Foto: Kateryna Hliznitsova/Unsplash)

Ada yang bilang, usia 30-an adalah masa paling produktif untuk membangun karier. Namun, bagi sebagian orang, justru di usia ini keputusan besar harus diambil—termasuk pindah haluan dari jalur yang sudah lama ditempuh. Itulah yang aku alami.

Kadang hidup membawa kita ke jalur yang sama sekali tak diduga. Aku lulusan Biologi, tetapi justru merintis karier di dunia perbankan. Awalnya banyak yang heran, bagaimana latar belakang biologi bisa menyambung dengan dunia keuangan?

Namun, aku menyadari bahwa disiplin Biologi membekaliku kemampuan esensial yang ternyata sangat selaras dengan kebutuhan perbankan.

Aku pun menjalaninya dengan serius. Bertahun-tahun bekerja, aku terbiasa dengan ritme cepat, target yang menantang, dan rasa bangga karena punya pekerjaan mapan. Walau jauh dari bidang kuliah, aku merasa punya pijakan yang cukup kuat.

Titik Balik: Keluarga Jadi Prioritas

Semua terasa baik-baik saja, sampai kemudian hidup kembali menuntunku membuat pilihan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Setelah menikah dan memiliki anak, aku merasa hidup tak lagi hanya tentang karier dan pencapaian pribadi. Ada kebutuhan lebih dalam: ingin tumbuh kembang anak disertai ayahnya, ingin benar-benar hadir untuk keluarga.

Saat itu aku menyadari, mempertahankan karier di kota lama berarti terus berjauhan dengan orang terpenting dalam hidup kami berdua. Keputusan besar pun kuambil: pindah ke kota baru, meninggalkan pekerjaan yang sudah memberiku kenyamanan.

Keputusan ini tak bisa gegabah. Secara finansial, kami berkomitmen untuk siap menghadapi masa tanpa gaji. Kami beruntung sudah menyiapkan dana darurat yang bisa menopang biaya hidup selama hampir delapan bulan.

Ini adalah 'bantal pendaratan' yang sangat krusial, memberiku waktu untuk mencari jalan baru tanpa tekanan finansial yang mencekik.

Pahitnya Masa Transisi

Hari-hari awal ternyata jauh dari kata mudah. Rasanya seperti kehilangan pegangan. Aku mendadak tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan sendiri, dan tentu saja belum punya kenalan. Post-power syndrome benar-benar terasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun