Namun, lebih dari sekadar buku, "Forgiveness" adalah sebuah perjalanan batin. Setiap haiku yang kutulis seperti percikan kecil untuk menyembuhkan luka.
Judul itu bukan dipilih sembarangan—ia mewakili proses panjang memaafkan diri sendiri atas segala keraguan dan jeda dalam hidup, serta memberi ruang bagi kesempatan baru untuk tumbuh.
"Forgiveness" bukan hanya tentang memaafkan orang lain, tetapi juga berdamai dengan keseluruhan perjalanan hidup yang berliku. Tiga baris haiku yang sederhana ternyata adalah cara paling jujur dan hening untuk memulai proses memaafkan itu.
Kini, ketika menoleh ke belakang, aku bisa tersenyum pada masa ketika pena terasa asing. Waktu itu ternyata bukan akhir, melainkan jeda yang mempersiapkanku menemukan bentuk menulis yang baru.
Haiku menjadi pintu yang membawaku kembali, dengan cara yang sederhana, tetapi penuh makna.
Menulis, pada akhirnya, bukan soal panjang-pendeknya karya. Ia adalah soal kejujuran—berani menuliskan apa yang kita lihat, dengar, dan rasa.
Melalui haiku, aku belajar menerima bahwa kata-kata tak harus megah untuk bisa menyentuh. Kadang, justru dalam keheningan singkat, makna paling dalam bisa berbisik.
Semoga perjalanan kecil ini bisa menginspirasi siapa pun yang sedang rindu menulis, tetapi masih ragu untuk mulai. Karena menulis tidak menuntut kita sempurna, ia hanya meminta kita hadir.
Siapa tahu, dari kehadiran itu, lahir sesuatu yang bisa kita sebut rumah—rumah kata, rumah rasa, rumah jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI