Tiga baris singkat ini lahir tanpa rencana. Hanya ada momen kecil—pandangan yang terhenti pada bunga ungu yang sedang mekar, lalu sebaris rasa rindu menyelinap tanpa permisi.
Itulah haiku—ia membuatku belajar menangkap momen sehari-hari yang kerap terlewat, lalu meramunya menjadi kata yang sederhana, tetapi sarat makna.
Ternyata, makin sering menulis, aku justru jatuh cinta. Dalam keterbatasannya, haiku justru menghadirkan keluasan. Tiga baris yang tampak sederhana bisa memuat rasa sepi, kagum, rindu, atau keheningan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata panjang.
Haiku adalah cara baru berdialog dengan diri sendiri. Ia mengajariku melihat dunia dengan lebih jernih—memperhatikan bunga yang mekar, embun yang menetes, atau suara hujan yang jatuh perlahan.
Ia melatih kepekaan menangkap momen, lalu menyederhanakannya menjadi kata. Justru dalam kesederhanaan itu aku merasa bebas, seakan-akan aku tak perlu membuktikan apa pun—cukup hadir, cukup merasakan.
Kecintaanku pada haiku tak berhenti di sana. Teman-teman komunitas yang membaca tulisanku mulai mendorongku untuk mengumpulkannya.
Awalnya aku ragu, apakah puisi sependek itu bisa pantas dijadikan buku? Namun, dorongan mereka begitu kuat, hingga akhirnya aku berani mencoba. Aku mulai merapikan haiku yang pernah kutulis, menambahkan catatan reflektif, dan perlahan sebuah naskah pun terkumpul.
Proses itu membawaku pada sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya—lahirlah sebuah buku berjudul "Forgiveness". Di dalamnya, haiku-haiku kecilku bersanding dengan esai ringan, seakan bercerita bergantian.
Saat naskah itu benar-benar terbit, perasaanku campur aduk: bahagia, terharu, dan tidak percaya. Dari perjalanan yang sempat terhenti, aku kini memegang bukti nyata bahwa menulis masih hidup dalam diriku.
Yang membuatku lebih tersentuh lagi adalah saat ada pembaca yang menulis pesan pribadi, mengatakan bahwa haiku sederhana itu menemaninya melewati malam yang berat.
Rasanya tak terbayangkan. Kata-kata kecil yang lahir dari keheningan bisa menjadi teman bagi orang lain.