Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Permata Kata Ibu Pertiwi, Temukan Kembali Bahasa Indonesia yang Memikat Hati

3 Juli 2025   07:25 Diperbarui: 5 Juli 2025   10:32 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa bisa kembali lewat tatap dan tawa. Di sinilah permata kata menemukan rumah: di antara ibu dan anak. (edsavi30/Pixabay)

"Ibu, aku nemu puisi ini. Bagus banget, tapi banyak kata yang aku nggak ngerti. Padahal bahasa Indonesia, lo."

Ia duduk di sampingku, ponsel di tangannya menyala. Layar itu menampilkan puisi berlatarkan langit jingga. Mungkin tangkapan layar dari Pinterest, atau dari seseorang yang baru saja jatuh cinta pada kata. Aku membacanya perlahan.

Langit yang Tak Sempat Kita Namai
Ada salindia yang terjatuh di pagi buta,
tayangan kenangan yang tak sempat kusebut namanya.

Di atas langit lazuardi, kutuliskan rinduku---
pada peluk yang tak selesai, pada tanya yang tak terjawab.

Kita pernah berjalan di jalan rumpil,
memunguti pendar cahaya dari sisa-sisa hari.

Tapi sendu datang tanpa suara,
duduk di beranda, menyeruput sepi perlahan.

Lalu senja menutup lembayungnya,
dan aku tak tahu lagi
apakah itu luka ... atau hanya musim yang berpindah.

Tak puas sekali, kuulang kembali menikmati puisi itu. Kata demi kata mungkin asing bagi generasinya, tetapi begitu akrab bagi batinku. Aku menatap wajahnya—mata yang penasaran, hati yang belum terbiasa dengan keindahan sunyi.

"Salindia itu apa, Bu?"
"Itu padanan baru untuk 'slide' atau gambar tayang. Tapi di sini, artinya seperti potongan kenangan yang bergerak pelan."

"Lazuardi?"
"Langit biru yang terang. Bukan biru biasa—yang ini seperti menggambarkan harapan."

"Rumpil?"
"Jalan kecil yang tidak rata. Seperti perjalanan hidup."
"Sendu?"
"Sedih yang lembut. Tanpa isak, tanpa ribut."

"Lembayung?"
"Itu warna senja antara ungu dan jingga. Waktu langit menutup harinya dengan pelan."

Ia mencatat semuanya. Tangannya bergerak cepat dalam diam—seperti sedang menyerap tidak hanya arti, tetapi rasa.

Malam itu, saat ia tertidur, aku menulis sebuah puisi. Bukan untuk tugas sekolah. Bukan untuk media sosial. Kubuat khusus untuknya—untuk wanodyaku, anak perempuanku, yang membawa pulang kata-kata yang hampir kami lupakan.

Bahasa yang Merawat Diri
Wanodyaku,
Kau hadir bak arunika,
membawa kehangatan dan keindahan hidup.

Hari-hari bersamamu adalah wiyata:
bahagia, tawa, ceria ... dan juga tangis.
Hingga aku belajar
menyebut luka dengan bahasa yang lembut.

Di antara sandikala berganti dan tilas kenangan,
aku pernah menyimpan sunyi
dalam tengadah yang tak dimengerti siapa pun.

Namun,
hari ini, saat kau menyebut kata-kata yang tenang,
jiwaku yang lelah ... seperti disentuh embun.

Kini, izinkan Ibu bicara dengan bahasa sendiri:
tentang cempala yang tak sempat Ibu mainkan,
tentang dersik yang terdengar kala bayu bermain,
tentang petrikor yang hadir saat hujan menyapa tanah,
tentang renjana yang ingin kau raih sepenuh hati.

Jadi, Nak ...
tak apa kau pakai kata yang mungkin terdengar usang.
Karena justru di sanalah,
kita bisa menemukan diri
yang jujur menari bersama aksara.

Esok paginya, aku bacakan puisi itu padanya.

Ia tak banyak bicara, hanya tersenyum kecil. Namun, dalam senyum dan binar matanya, aku tahu kata-kata itu telah menenun sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun